Jumat, 08 September 2017

,

Max Havelaar: Buku yang Membunuh Kolonialisme



Sekitar setengah abad yang lalu, di sebuah pertemuan diplomatik di London, ada seorang yang begitu mencolok di antara mereka: posturnya pendek dari standar orang Eropa, kurus, dan mengenakan semacam topi hitam (Peci/Kopiah) menutupi rambutnya yang seluruhnya memutih. Dari mulutnya mengeluarkan semacam kepulan asap dengan beraroma khas dan meresap menyelemuti seluruh ruang pertemuan. Nama pria ini adalah Agus Salim, Duta Besar Republik Indonesia untuk wilayah Inggris Raya. Di negaranya pria ini mendapat julukan The Grand Old Man. Salim termasuk generasi pertama orang Indonesia yang telah mengenyam pendidikan Barat. Dalam hal ini, dia adalah spesies langka, karena pada akhir hegemoni kekuasan Belanda di Indonesia pada tahun 1943, tidak lebih dari 3,5 persen populasi Indonesia dapat membaca atau menulis.

Tidak mengherankan, dengan penampilan dan sikapnya (ditambah aroma rokoknya yang aneh) Salim dengan cepat menjadi pusat perhatian. Seorang akhirnya melontarkan pertanyaan yang tertahan di bibir semua orang “Benda apakah yang anda rokok, Tuan?”

“Inilah, Yang Mulia” Agus Salim dikatakan menjawab demikian “Adalah alasan mengapa Bangsa Barat menaklukkan dunia!” Sebenarnya dia merokok kretek, rokok Indonesia yang dibumbui dengan cengkeh dan selama berabad-abad menjadi salah satu rempah yang paling banyak dicari di dunia.

Apakah kisah tentang seorang pria Indonesia di Istana Raja James adalah kisah terhebat pada abad ini? Tentu tidak, meski saya harus tersenyum pada prilaku usil yang ditunjukkan oleh rekan senegara saya. Saya memasukkan ceritanya ke sini karena menyentuh apa yang saya anggap sebagai dua “proses” paling penting dalam abad ini: pencarian rempah-rempah oleh negara-negara Barat, yang membawa bangsa dan budaya asing untuk saling berhubungan untuk pertama kalinya; dan perluasan kesempatan pendidikan kepada orang-orang terjajah di dunia, sebagai hak yang terpaksa mereka buang di bawah kolonisasi Barat - hak untuk menentukan masa depan mereka sendiri.

Proses yang terakhir ini dapat dicontohkan oleh sebuah karya sastra yang hampir tidak dikenal: “Max Havelaar, atau Coffee Auctions of the Dutch Trading Company” sebuah novel yang ditulis Eduard Douwes Dekker, seorang Belanda, yang diterbitkannya pada tahun 1859 dengan nama pena Multatuli (dal Bahasa Latin “sangat menderita”). Buku tersebut menceritakan pengalaman Max Havelaar, seorang pejabat idealis Hindia Belanda di Jawa. Dalam ceritanya, Havelaar melihat (dan kemudian memberontak melawan) sistem tanam paksa yang dipaksakan kepada petani Indonesia oleh Pemerintah Belanda.

D. H. Lawrence, dalam pengantarnya pada edisi terjemahan bahasa Inggris 1927 dalam novel tersebut menyebutnya sebagai karya yang paling “menjengkelkan”. “Di permukaan “Max Havelaar” adalah media atau pamflet sangat banyak memiliki kesamaan dengan “Uncle Tom’s Cabin” tulis Lawrence. Mereka menyerukan “kasihani orang kulit hitan yang malang” kita juga menyerukan “kasihani orang Jawa miskin yang tertindas”, dengan seruan yang sama untuk mendesak undang-undang agar Pemerintah melakukan sesuatu untuk masalah tersebut. Setelah Pemerintah Amerika melakukan sesuatu kepada para budak kulit hitam dan “Uncle Tom’s Cabin” hilang dari peredaran. Pemerintah Belanda juga dikatakan telah melakukan sesuatu kepada masyarakat miskin di Jawa, atas kekuatan karangan Multatuli. kemudian “Max Havelaar” kembali kadaluarsa.

Sebelum menceritakan lebih banyak mengenai “Max Havelaar” dan juga penulisnya. Saya akan mencoba sedikit kembali ke beberapa waktu yang lalu, bahkan sebelum abad ini, untuk memberi tahu kalian tentang sejarah pencarian rempah-rempah. Kata kunci yang perlu kita ingat di kasus ini ialah “Agama.”

Lebih dari ratusan tahun rempah-rempah (cengkeh, pala dan lada) telah menjadi salah satu penyebab utama konfik agama. Nilai yang terkandung didalamnya tak dapat disangkal : sebagai pengawet makanan(sangat berguna di masa sebelum pendinginan), sebagai obat dan ketika berbagai makanan memiliki rasa terbatas, digunakan sebagai perasa.

Pada tahun 711, pasukan Moor menaklukkan Cordoba di selatan Spanyol. Pada 756, penguasa Muslim Abdar Rahman memproklamirkan bahwa dia telah mencapai tujuannya untuk menyebarkan budaya dan perdagangan Islam ke seluruh daratan Spanyol. Negara itu menjadi pusat kajian sains dan pembelajaran ilmu pengetahuan bangsa Yunani dan Romawi yang telah dilarang oleh Gereja Katolik Roma. Dengan mengendalikan wilayah di kedua pintu masuk ke Laut Tengah, bangsa Moor juga mampu mempertahankan kontrol atas perdagangan dengan Timur, sumber rempah-rempah dan barang-barang penting lainnya. Kapal-kapal Kristen tidak diizinkan untuk lewat.

Selama beberapa abad, perkembangan negara-negara Kristen di Eropa terhenti secara nyata: semua sumber daya manusia dan ekonomi yang ada dituangkan ke dalam Perang Salib. Perang Suci dilancarkan bukan hanya untuk merebut kembali Yerusalem tetapi juga untuk mengusir orang-orang Moor dari Spanyol dan dengan berbuat demikian, mereka bisa mendapatkan kendali atas perdagangan rempah-rempah.

Pada 1236, pasukan Katolik Eropa akhirnya berhasil. Islam didorong mundur dari wilayah Eropa. Atas penghargaan mereka akhirnya pasukan pemenang menahan diri untuk merusak simbol-simbol warisan bangsa Moor. Meskipun demikian, balas dendam terhadap Islam tetap terus berlanjut - seperti mengusir pasukan Muslim dari negara manapun yang mereka capai.

Tempat pertama yang jatuh adalah Ceuta di Maroko, di pantai utara Afrika yang, bersama dengan Gibraltar berfungsi sebagai pintu gerbang ke Mediterania. Dengan ini, orang-orang Eropa telah membuat sebuah pijakan penting dalam merebut kendali perdagangan rempah-rempah. Namun yang menjadi masalah, mereka hanya punya sedikit pengetahuan menganai asal usul rempah-rempah benar-benar berada.

Spanyol dan Portugis, dua negara maritim terbesar di Eropa pada masa itu, bertekad pergi untuk menemukan jawabannya. Untuk menjaga perdamaian di antara negara-negara Katolik, garis demarkasi dibuat (kemudian dibentuk resmi oleh Paus Alexander VI pada tahun 1493), memberikan Spanyol hak untuk menaklukkan semua wilayah non-Kristen di bagian barat Kepulauan Cape Verde, dan Portugis memiliki wewenang untuk membawa negara-negara pagan ke bagian timur pulau-pulau dan sejauh garis 125⁰ meridian (yang jatuh di dekat Filipina). Karena alasan inilah Columbus, seorang penjelajah Spanyol, berlayar ke barat dan menemukan sebuah benua dan bukan sumber rempah-rempah. Sebaliknya, Portugis mengirim kapal-kapalnya ke timur ke Afrika, dimana mereka kembali dengan emas, telur burung unta dan budak - tapi tidak ada rempah-rempah.

Pada awal 1498, Vasco da Gama sampai di pulau Madagaskar, di lepas pantai Afrika timur. Di sana ia menemukan seorang pemandu untuk menuntunnya melintasi Samudera Hindia menuju pelabuhan Calicut di barat daya India. Pada tanggal 20 Mei Vasco da Gama sampai “menemukan” India. Sayangnya pelaut yang malang itu hanya menemukan kayu manis dari semua rempah-rempah yang ia cari. Untuk mencapai sumber rempah ia harus berlayar sejauh ribuan mil ke arah tenggara ke tempat yang sekarang dikenal sebagai Indonesia dan kemudian ke Maluku (terletak di separuh dunia di Spanyol). Selama abad berikutnya, orang-orang Portugis menempuh perjalanan ke tenggara, mengokohkan jalur perdagangan Muslim dan mengubah sistem dalam perjalanannya. Pada saat kapal-kapal da Gama berhasil sampai ke Maluku pada pertengahan abad ke-16, Afrika, benua India dan Malaya semuanya telah ditaklukkan atas nama perdagangan dan Kristus.

Penjelajah lain telah mengunjungi wilayah tersebut sebelumnya (termasuk Marco Polo) tetapi Portugislah yang membentuk koloni asing pertama. Dengan bantuan senjata api, Portugis dengan cepat menyebarkan kedigdayaannya ke penjuru nusantara. Dalam waktu singkat, negara ini mengendalikan rute rempah dari awal sampai akhir.

Namun, ada satu masalah. Portugis tidak memiliki cukup populasi untuk mendukung kekuatan maritimnya yang mampu mengendalikan separuh dunia non-Katolik. Akibatnya, terpaksa mempekerjakan pelaut dari Jerman, Prancis dan terutama Belanda. Kelemahan ini pada akhirnya akan mengawali jatuhnya monopoli dalam perdagangan rempah-rempah.

Seorang pelaut Belanda di armada Portugis, Jan Huygen van Linschoten, membuat catatan lengkap mengenai enam tahun perjalanannya di seluruh nusantara. Dia menaruh perhatian khusus pada kelemahan atasannya. Tentunya, Portugis telah melakukan hal terbaik untuk menutupi kerentanannya, namun akhirnya pada tahun 1596, ketika van Linschoten kembali ke negerinya dan menerbitkan sebuah buku berjudul “A Journey, or Sailing to Portugis India or East India.” Buku tersebut (semacam panduan perjalanan ke kawasan Hindia) dengan cepat diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis, Inggris, Jerman dan Latin.

Dua tahun semenjak tulisan van Linschoten diterbitkan, Belanda, melalui konsorsium perusahaan Belanda, mengirim armadanya sendiri ke Indonesia. Usaha perdana armada Belanda gagal, namun lambat laun, gelombang demi gelombang kapal-kapal Belanda mencapai pulau-pulau, mengusir orang-orang Portugis dan mengeruk kekayaan yang tak terhitung ke Belanda. Portugis yang kekurangan tidak hanya tenaga kerja tetapi juga posisi diplomatik untuk melindungi kepentingannya, akhirnya tidak bisa melakukan perlawanan.

Sebagian, keberhasilan Belanda dapat dikaitkan dengan hubungan kerja yang baik dengan bangsawan Jawa yang luar biasa dan profesionalisme mereka. Awalnya, mereka datang untuk berdagang, bukan untuk menaklukkan, atas dasar itu menciptakan emporium maritim terbesar di dunia yang terletak di Batavia (saat ini Jakarta).

Namun, seiring berjalannya waktu Belanda membutuhkan kekuatan militer untuk melindungi bisnis monopoli mereka. Untuk menjaga harga pasar internasional tetap tinggi, mereka juga membatasi produksi rempah-rempah. Untuk alasan ini, hampir seluruh penduduk Kepulauan Banda, sumber pala, dimusnahkan pada awal abad ke-17. Pulau ini kemudian ditempati pegawai perusahaan Eropa. Bagi pekerja lapangan mereka membawa budak dan tawanan perang.

Juga untuk tujuan mengendalikan produksi rempah-rempah, orang-orang dari Maluku dikerahkan paksa denggan sebuah armada kapal tradisional Maluku dan dikirim untuk menghancurkan kebun pala dan cengkeh para pesaing. Pulau Buru, tempat saya menjadi tahanan politik dari tahun 1969 sampai 1979, beralih dari sebuah pulau perkebunan ke padang savana yang luas.

Maju ke pertengahan abad ke-19. Akibat perang Napoleon dan Jawa, Belanda dan Hindia Belanda telah mengalami kemerosotan ekonomi. Gula, kopi, teh dan nila telah menggantikan rempah-rempah sebagai tanaman komersial nusantara, namun dengan meningkatnya produksi dalam negeri dan daya beli terbatas di luar negeri, mereka menjadi semakin tidak menguntungkan bagi konsorsium Belanda. Untuk meningkatkan keuntungan, Gubernur Jendera J.van den Bosch, memutuskan bahwa Pemerintah harus dapat menjamin hak kepemilikan jangka panjang bagi investor dan pasokan tetap yang harus diekspor tiap tahun.

Untuk itu, van den Bosch mulai menerapkan sistem tanam paksa di Jawa, yang dikenal dengan cultuurstelsel, di mana para petani diwajibkan menyerahkan sebagian hasil produksi dari tanah mereka kepada pemerintah kolonial. Melalui rencana ini, pemerintah mampu membalikkan penurunan ekonomi Belanda hanya dalam waktu tiga tahun. Jawa diubah menjadi bengkel pertanian. Selain menyerahkan tanah untuk produksi yang ditunjuk oleh Pemerintah, membayar pajak yang tinggi ke Belanda dan “upeti” kepada tuan tanah setempat, para petani dilarang oleh undang-undang untuk pindah dari kampung halaman mereka. Saat bencana kelaparan melanda atau gagal panen, sama sekali tidak ada jalan keluarnya. Akibatnya,puluhan ribu petani meninggal karena kelaparan. Sementara itu penguasa Belanda dan bangsawan feodal tumbuh lebih kaya setiap harinya.

Pada 13 Oktober 1859 di Brussels, Eduard Douwes Dekker mantan pegawai Pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan “Max Havelaar.” Perhatiannya mengenai dampak kebijakan kolonial terhadap rakyat Indonesia telah menandai karir Dekker, yang awalnya belajar untuk menjadi menteri. Ketika ditempatkan di Sumatera Utara, dia membela seorang kepala desa yang telah disiksa dan tanpa disadari mendapati dirinya berada di seberang ruang sidang dari atasannya. Akibatnya, dia dipindahkan ke Sumatera Barat, di mana dia memprotes upaya pemerintah untuk memicu persaingan etnik. Tak lama kemuadian ia dipanggil kembali ke Batavia. Kemampuan menulisnya berhasil menyelamatkannya dari pemecatan sepenuhnya. Setelah beberapa kali gelombang kepindahannya, Dekker berakhir di Jawa Barat. Puncanya, ketika Dekker berusia 29 tahun, kekecewaannya memuncak dan akhirnya mengundurkan diri. Dilihat dari novel otobiografinya, kita dapat berasumsi dia menulis surat ke Gubernur Jenderal seperti ini: “Yang Mulia telah mengesahkan: Sistem penyalahgunaan wewenang, perampokan dan pembunuhan, di mana orang-orang Jawa mengeluh, dan itulah yang saya tentang. Yang Mulia, ada darah di atas kepingan perak yang telah Anda sematkan dari gaji yang Anda peroleh!” Dia kembali ke Eropa - bukan ke Belanda, tapi ke Belgia, di mana dia mencurahkan pengalamannya ke dalam “Max Havelaar.”

Gaya Dekker yang jauh dari halus. Dalam menggambarkan cultuurstelsel yang dia tulis: “Pemerintah memaksa pekerja untuk menumbuhkan apa yang dikehendaki di tanah para pekerja, menghukum saat mereka menjual hasil panen ke orang lain pemerintah, dan menentukan harga yang harus dibayarnya. Biaya transportasi ke Eropa melalui perusahaan perdagangan sangatlah tinggi. Uang yang diberikan kepada pemimpin-pemimpin mendorong membengkaknya harga pembelian lebih lanjut, dan. . . Karena semua bisnis harus menghasilkan keuntungan, keuntungan ini bisa dibuat dengan cara lain selain dengan hanya membayar orang Jawa sekedar untuk mencegahnya kelaparan. Kelaparan? Di Jawa yang kaya, subur, diberkati? Ya, Beberapa tahun yang lalu seluruh distrik meninggal karena kelaparan. Ibu menawari anak-anak mereka untuk dijual untuk mendapatkan makanan. Ibu memakan anak-anak mereka.”

Penerbitan “Max Havelaar” pada tahun 1859 tidak lain adalah guncangan bagi dunia. Sama seperti “Uncle Tom’s Cabin” memberi amunisi pada gerakan abolisionis Amerika, “Max Havelaar” menjadi senjata bagi gerakan liberal yang berkembang di Belanda, yang berjuang untuk mewujudkan reformasi di Indonesia. Dibantu “Max Havelaar” gerakan liberal dapat mendesak Pemerintah Belanda untuk menciptakan sebuah kebijakan baru yang dikenal sebagai politik etis, tujuan utamanya adalah untuk memberikan irigasi, migrasi antar pulau dan pendidikan di Hindia Belanda.

Dampak reformasi pada mulanya sederhana. Pada awal abad ke-20, bagaimanapun, sejumlah kecil orang Indonesia terutama anak-anak penguasa tradisional, mulai merasakan pengaruhnya. Salah satunya adalah Agus Salim pria dengan rokok kretek, yang membaca “Max Havelaar” di sekolah terbukti terbakitnya kesadaran. Dia bersama orang-orang Indonesia lain yang mendapat pendidika Belanda, menggagas gerakan untuk emansipasi dan kebebasan, yang pada akhirnya menyebabkan revolusi dalam kurun 1940-an,.

Revolusi Indonesia tidak hanya melahirkan sebuah negara baru, namun juga memicu seruan untuk revolusi di Afrika, yang pada gilirannya membangkitkan lebih banyak lagi orang-orang terjajah di dunia dan menandai berakhirnya dominasi kolonial Eropa. Mungkin, dalam arti tertentu, mengan tidak mungkin ada jalan lain. Barangkali dunia dijajah oleh Eropa karena Kepulauan Rempah-rempah di Indonesia? Orang bisa mengatakan bahwa itu takdir Indonesia untuk memulai proses dekolonisasi.

Untuk Multatuli - Eduard Douwes Dekker yang karyanya memicu proses ini, dunia ini berhutang begitu besar.
Ditulis Pramoedya Ananta Toer pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris "Best Story; The Book That Killed Coloniallism" di New York Times, 18 April 1999. Diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia oleh Dwi Surya Ananda, 8 September 2017
Share:

3 komentar:

  1. udah baca bukunyaa mas? seru kokk, tapi agak njlimet aja bahasanyaa. soalnyaa terjemahan juga bahasa belandanya ejaan lama yg mungkin susah nyari padanan yg bikin cerita mengalir asyik. overall, relevan lahh substansi bukunya dengan judul artikel mas ini. Dia, Yang Memulai Pembunuhan Berencana Atas Pembunuh Berencana Berjuluk Kolonialisme."

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah iya sudah baca juga kok akunya yas, sumpah keren! kapan kamu pulang? Kita diskusi nanti

      Hapus