Kamis, 19 Oktober 2017

,

Aku Ingin Menghabiskan Waktu Untuk Bermalas-malasan.




Sepertinya aku telah terjangkit semacam virus yang merubahku menjadi seorang yang benar-benar pemalas pada saat ini. Atau barangkali aku terlalu banyak menyianyiakan waktu begitu saja tanpa melakukan suatu hal yang bisa di banggakan seperti para manusia di sekitarku. Seringkali aku tak bisa merasakan semacam keranjingan dalam menghabiskan hari demi hari, semua terasa datar bahkan nyaris membosankan.

Terlebih lagi, kebiasaan-kebiasaan buruk yang kerap aku lakukan secara tegas membawaku masuk kedalam sebuah proses menjadi orang yang pemalas. Bayangkan, saban hari ketika tidak ada kegiatan apapun untuk dikerjakan aku akan dengan sengaja membangunkan diri dari tidur saat matahari telah berada di poros yang paling tinggi. Selain itu, kebiasaan lain seperti minum kopi dapat mengurungku dalam jangka waktu yang cukup lama, untuk hal yang satu ini seringkali aku juga menyisipkan untuk membaca buku atau sekedar artikel berita dan tak jarang aku menulis beberapa bait puisi yang tak pernah tuntas. Namun, dari semua kebiasaan tersebut persentase waktu yang paling banyak aku habis untuk merenung, ya hanya sekedar merenung.

Mungkin, aku termasuk bagian dari orang yang sedang benar-benar mengalami sebuah fase kecanduan untuk merenung. Selain memuntahkan semangkuk isi pikiran, merenung membantuku untuk bisa melakukan semua hal yang tak bisa aku lakukan di dunia ini. Tak jarang aku berlama-lama menjatuhkan diri kedalam berbagai pertanyaan yang hanya menghasilkan sebuah kebingungan saja. Bagiku sebuah pertanyaan dapat menghasilkan begitu banyak tafsir, kerapkali aku mengajukan sebuah pertanyaan dan mencoba menjawabnya dengan cara seolah-olah aku menjadi orang lain sehingga akan mendapatkan berbagai macam jawaban dengan nilai perspektif kebenaran yang kadarnya sama. Dan hasilnya ialah aku kembali terjebak dalam sebuah ketidakpastian, dimana aku seakan terjabak dalam paradoks yang begitu membingungkan. Hingga kesimpulan yang sangat tepat ialah

Aku memang tidak mengerti apa-apa!”

Barangkali juga sebuah kebingungan dan ketidakpastiaan yang aku produksi dari kegiatan merenung dapat membuat aku membenci diri sendiri. Bagaimana tidak, aku sering melihat begitu banyak orang-orang di internet, televisi yang saban hari aku saksikan seringkali membeberkan dengan begitu taktis dan cenderung sangat mudah memberikan sebuah penilaian tertentu. Terkadang aku iri dan begitu benci dengan diri sendiri dimana aku masih tetap sibuk bertanya, bertanya dan terus bertanya tanpa bisa memberikan sebuah penilaian sedikitpun.

“Why do people, when they are wrong, twist the conversation around and the blame on someone else?” –Hilary Grossman

Kemalasan demi kemalasan yang aku lakukan ini seringkali membuat aku begitu kerepotan bahkan keteteran untuk mengejar beberapa teman-teman yang hidup dengan prinsip hidup yang begitu cepat seakan mereka menjelama robot yang begitu taktis. Contoh kecilnya, beberapa kali aku mengurungkan niat untuk mengerjakan tugas akhir hanya karena membaca buku. Kegiatan berlama-lama membaca di atas tempat tidur sering membuatku memisahkan diri dari kehidupan, seringkali aku terluka bahkan lupa kehidupanku sendiri karena terlampau serius menyelami lambaran kehidupan dalam bentuk yang lain. Mungkin, bagi kalian hidup yang sedang aku jalani ini bisa teramat sangat membosankan, tetapi tanpa kalian sadari aku sedang merencanakan sebuah revolusi dari tempat tidur seperti sebuah frasa lagu Don’t Look Back in Anger-nya Oasis.

Alih-alih mencoba melepaskan diri dari belenggu kemalasan, aku malah menemukan sebuah kegiatan baru yang memang sangat cocok untuk dilakukan seorang bajingan pemalas sepertiku. Kegemaran tersebut berupa meraba dan menyentuh bermacam benda dengan menutup kedua mata, diawali dengan merasakan rimbun dedaunan, butir-butir pasir, gemericik air hingga hangatnya matahari pagi. Keranjingan hal tersebut seakan menerbangkanku kembali menuju masa kecil ketika mencoba menyentuh semua benda dengan rasa penasaran dan fantasi yang begitu menyenangkan. Walau begitu naif dan tak masuk akal, inilah caraku menolak mati rasa.



Pada masa kemalasan ini kesepian begitu sering menghampiri, walaupun sekedar bercakap denganku. Ia menjelma sebuah nyanyian yang paling sering aku dengarkan. Dalam gelanggang kehidupan kesepian serupa lawan tanding yang sulit aku kalahkan, bahkan tak jarang aku menyerah tanpa melawan. Alhasil aku merasakan sensasi kekosongan yang begitu menyayat ketika mencoba mengalahkannya. Namun adakalanya kisah-kisah kesepian Gabriel Garcia Marquez, Dorris Lessing, Gao Xingjian hingga Pramoedya Ananta Toer membuatku menikmati kesepian.

Seringkali aku memaksakan diri menjajarkan hidupku saat ini dengan seorang tokoh karangan Luis Sepulveda dalam buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta. Lelaki tua itu bernama Antonio Jose Bolivar Proano, ia merupakan seorang pemburu yang tinggal bertahun-tahun bersama suku Shuar, suku indian nomaden di hutan Amazon. Antonio dan aku sama-sama memilik kegemaran umenghabiskan waktu berjam-jam untuk membaca dan merenung. Namun, yang sedikit berbeda aku adalah seorang pemalas sering dihantui kesepian.

Mampus kau dikoyak-koyak sepi!

Barangkali masih telalu banyak kemalasan-kemalasan yang belum sempat aku ceritakan. Apakah semua ini adalah sebuah prestasi ataupula sebuah ketololan belaka. Entahlah, apapun itu, sebenarnya aku hanya ingin memahami hidup yang sulit dimengerti. Sepertinya setelah selesai menamatkan tulisan ini, aku akan kembali merenung dan bermalas-malasan.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar