Kamis, 02 November 2017

Menilik Fenomena Bunuh Diri



Setelah semua perdebatan yang cukup menguras pikiran akhirnya pada penghujung bulan yang lalu, 28 Oktober lebih tepatnya saya bersama teman yang tergabung di komunitas Telur Indonesia mengadakan sebuah diskusi dengan tajuk Mengulik Fenomena Bunuh Diri. Tentulah narasi diskusi yang kami sajikan ini sangat tidak populer, bahkan kalah populer dengan rentetan aksi bunuh diri itu sendiri.

Diskusi ini lebih menarik sebab saya pernah menulis artikel mengenai bunuh diri. Dalam sebuah fase kehidupan bunuh diri memang sebuah problem yang begitu pelik dan dilematis. Dimana kita seringkali menggunakan stadar ganda dalam menanggapi kasus ini, di sisi lain ada yang mencoba memahami dengan lebih objektif dan di pihak lain banyak pula yang mencibir korban secara habis-habisan.

Berdasarkan data World Health Organization (WHO), diperoleh fakta bahwa setiap 40 detik terdapat satu orang yang meninggal akibat bunuh diri. Kemudian menurut catatan WHO pada tahun 2012 di Indonesia terdapat 50.000 orang tiap tahunya meninggal akibat bunuh diri, sedangkan pada tahun 2015 terdapat 800.000 orang di seluruh dunia yang meninggal akibat bunuh diri setiap tahunnya.

“Suicide isn’t cowardly. I’ll tell you what is cowardly; treating people so badly that they want to end their lives.” – Ashley Purdy

Kalimat tersebut mengawali diskusi kami, sebuah frasa yang diungkapkan seorang bassis yang tergabung dalam Black Veil Brides. Saya mengamini sepenuhnya untuk pernyataan ini, bahwa memang benar dalam berbagai kasus bunuh diri dilandasi perlakuan buruk secara terus menerus yang diterima seseroang terkadang mendorong orang tersebut untuk menghakhiri hidupnya. Salah satu kasus yang menjadi sorotan ialah kematian Daniel Fitzpatrick seorang pelajar di Holy Angels, Amerika Serikat. Menurut pengakuan Daniel dalam secarik pesan yang ditinggalkan sebelum bunuh diri, ia merasa menyerah menghadapi perundungan atas dirinya dan guru-gurunya mendiamkan peristiwa tersebut. Hal serupa juga terjadi di Indonesia pada periode awal Agustus 2017 lalu seorang siswi SMA di Bangkiang, Riau melakukan aksi bunuh diri setelah mendapatkan  perlakuan buruk oleh teman-temannya.

Sungguh menarik ketika kami lanjut berdiskusi mengenai Euthanasia dan Assited Suicide. Euthanasia sendiri berarti  tindakan pencabutan kehidupan manusia secara medis dengan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau menimbulkan rasa sakit yang minimal. Sampai 2016, terdapat berbagai negara yang telah melegalisasi praktik Euthanasia seperti Belanda, Belgia, Kolombia dan Luksemburg. Sedangkan Assisted suicide sendiri telah legal Swiss, Jerman, Japang, Kanada, dan di berbagai Negara bagian Amerika seperti Oregon, Colorado, Vermont, Montana, Washington DC, dan California. Meski tidak secara tegas diatur, di Indonesia Euthanasia tetap melanggar Hukum,  KUHP mengatur tentang larangan melakukan euthanasia dalam Pasal 344.

Tentunya terdapat banyak perspektif hingga kontradiksi yang kompleks terhadap permasalahan euthanasia itu sendiri. Secara yuridis manusia telah menmperoleh perlindungan secara hukum sejak dalam kandungannya. Secara hak asasi manusia euthanasia lahir sebagai hak untuk mati bagi seseorang dan merupakan konsekuensi adanya hak untuk hidup, tak jarang pula euthanasia dipahami sebagai hak untuk menentukan nasib sendiri bagi pasien (The right self of determination). Yang menjadi menarik ialah secara keseluruhan peserta diskusi mayoritas menilik sudut pandang bunuh diri dari pendekatan sebuah Agama, dimana bunuh diri adalah sebuah perbuatan dosa yang begitu serius dan begitu keji. Terlebih lagi kebiasaan yang sedari kecil semacam “tidak boleh berbuat seperti itu, dosa besar nanti masuk Neraka” sehingga secara tidak langsung sebagain besar rekonstruksi pikiran kita tidak akan pernah setuju untuk melegalisasi Euthanasia.

Namun, saya memiliki anggapan sendiri perihal masalah Euthanasia ini terlepas dari kepercayaan yang saya yakini. Euthanasia yang dilakukan secara sukarela oleh pasien ialah sebuah hak yang patut kita hormati dimana mereka memutuskan untuk menentukan nasib atas hidup mereka sendiri. Walaupun dalam praktiknya di berbagai Negara pelaksanaan Euthanasia sangatlah rumit dan harus melewati prosedur yang begitu ketat bahkan harus melewati persidangan cukup panjang.

Selain membahas legalisasi Euthanasia, kami fenomena bunuh diri yang pernah terjadi tidak kalah menarik untuk dibicarakan. Dimana kami mencoba membahas berbagai kasus bunuh diri secara berkelompok.


Dalam kasus pertama kami membahas kasus kematian vokalis Nirvana, Kurt Cobain. Cobain sendiri ditemukan meninggal dengan menembak kepalanya sendiri pada April 1995. Aksi bunuh diri Cobain landaran depresi serta beberapa penyakit laryngintis dan bronkitis yang semakin mendorongnya untuk melakukan bunuh diri. Cobain sendiri memiliki sejarah percobaan bunuh namun ia berhasil selamat, selain itu dua anggota keluarga Cobain juga meninggal bunuh diri. Menurut seorang Psikiatri bernama David Brent, tinggkat bunuh diri yang terjadi pada keluarga terdekat bisa menyebabkan kecenderungan untuk bunuh diri meningkat 4 sampai 6 kali pada kerabatnya. Sehingga dalam kasus Kurt Cobain ataupula bunuh diri sejenisnya bisa saja terjadi akibat faktor keturunan atau genetika.

Untuk kasus berikutnya kami membahas aksi bakar diri yang dilakukan Sondong Hutagalung, seorang akivis mahasiswa. Sondang nekat membakar dirinya di depan Istana Negara sebagai wujud protesnya. Hal ini dilandasi oleh kekecawaan atas sikap pemerintah dalam penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Sondang tidak sendiri, pada tahun 1968, Jan Palach seorang mahasiswa Republik Ceko melakukan aksi bakar diri untuk melolak pendudukan soviet di Ceko. Kemudian pada 2009-2015, Tibet dilanda gelombang bakar diri para biksu untuk menentang represi Tiongkok. Dalam kasus ini konteks kekerasan telah melampaui tingkatan tersendiri dimana kekerasan menjadi sebuah prilaku yang etis dan memiliki sebuah nilai kebajikan didalamnya.

Dalam kasus lain, sosial media mendapatakan peran penting dalam mereproduksi sebuah kekerasan. Pada bulan Maret terdapat diketahui seorang pria asal Indonesia mengakhiri hidupnya dengan cara gantung diri dan disiarkan menalui Facebook Live. Ini bukanlah kejadian pertama di dunia. Pada medio desember 2016, seorang perempuan asal Georgia menyiarkan langsung proses bunuh dirinya lewat media sosial Facebook. Katelyn Nicole Davis dalam siaran langsung itu mengatakan anggota keluarganya sudah berulang kali melakukan pelecehan seksual terhadapnya. Belum juga usai, Wuttisan Wongtalay memfilmkan pembunuhan putrinya di atap sebuah hotel tak berpenghuni ke dalam dua video klip yang disiarkan lewat Facebook Live, sebelum melakukan bunuh diri. Fenomena ini bisa dibilang cukup unik segaligus menjadi antithesis dimana media tidak hanya digunakan untuk berbagi kebahagian, bisa juga sebaliknya.

Kemudian kasus Bill Ramsey dan Bruce Carrio yang memicu gelombang aksi bunuh diri di Texas menjadi kasus terakhir yang kami bahas. Kejadian ini dimulai ketika Bruce memutuskan untuk mengakhiri hidupnya setelah kematian Bill. Bersama aluan lagu dari Pink Floyd Bruce Carrio mengunci dirinya di dalam mobil hingga keracunan karbon monoksida. Seminggu setelahnya Glenn Currey juga memutuskan bunuh diri dengan motif yang sama. Pada tahun 1983 tercatat ada lima remaja memutuskan untuk bunuh dan lebih dari selusin percobaan bunuh diri. Gelombang tren bunuh diri remaja ini kemudian menyebar ke seluruh Texas dan sebagian besar sampai akhir dekade 1980-an. Dalam kasus ini, sosiolog David Philips pada penelitiannya menyebutkan bahwa perhatian media yang masif serta penyertaan detail-detail teknis pada pemberitaan kasus bunuh diri sebagai salah satu faktor meningkatnya angka bunuh diri.

Memang membingungkan dan sangat kompleks apabila kita memahami sebuah kasus bunuh diri yang ada saat ini. Bunuh diri adalah permasalahan yang begitu pelik dan sangat dilematis. Dimana kita tidak bisa mengeneralisir penyebab kasus ini secara umum, sebab setiap korban memiliki alasan tersendiri untuk melakukan aksi tersebut. Namun diantaranya penyebab seperti perundungan, kekerasan seksual, kesehatan mental, psikologis, penyakit, lingkungan yang tidak baik, genetika, protes dan berbagai macam faktor lainnya.

Barangkali kita memang tidak pernah mengerti bagaimana pikiran ataupula perasaan seseorang dan juga bagaimana mereka melewati beban penderitaan dalam hidupnya hingga akhirnya mereka memutuskan rantai penderitaan dengan mengakhiri hidupnya sendiri. Saya rasa kita harus mencoba memahami, berempati dan memperlakukain manusia dengan sebagaimana mestinya.


Apabila mengalami depresi atau tendensi untuk bunuh diri. Silakan hubungi layanan berikut :

Into The Light
intothelight.email@gmail.com
pendamping.itl@gmail.com  
LSM IMAJI (Inti Mata Jiwa)
mail@imaji.or.id
(+62274) 2840227 
LSM Jangan Bunuh Diri
janganbunuhdiri@yahoo.com
021 9696 9293 
Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Jiwa Kementrian Kesehatan RI
500-454

Share:

3 komentar:

  1. "Bunuh diri adalah permasalahan yang begitu pelik dan sangat dilematis. Dimana kita tidak bisa mengeneralisir penyebab kasus ini secara umum, sebab setiap korban memiliki alasan tersendiri untuk melakukan aksi tersebut. Namun diantaranya penyebab seperti perundungan, kekerasan seksual, kesehatan mental, psikologis, penyakit, lingkungan yang tidak baik, genetika, protes dan berbagai macam faktor lainnya."

    saya setuju dengan paragraf di atas. perasaan dan pikiran manusia sangatlah rumit, ada yang mengalami perundungan lalu menjadi depresi tapi malah ada juga yang malah bersemangat ingin membuktikan diri dengam menjadi orang yang lebih baik, dll.

    sayangnya banyak orang yang masih menganggap depresi adalah orang yang manja, cengeng, tidak bersyukur, bla bla bla.
    masalah yang sangat rumit mereka sederhanakan dengan mudah karena ketidaktahuan. semoga dengan semakin banyak media yang mengedukasi, banyak orang akan semakin tahu tentang depresi, paling tidak menyadari gejala2 depresi pada orang terdekat kita.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya saya juga setuju untuk lebih banyak lagi media yang mengedukasi menengenai depresi ataupula kesehatan mental. Dimana di zaman gila yang serba cepat dan terlalu terburu-buru ini, permasalahan yang dihadapi manusia juga lebih kompleks dan rumit. Coba memahami permasalahan yang mereka hadapi secara objektif dan tidak mencibir itu bisa sangat membantau menurutku, dalam konteks ini.

      Hapus
    2. Iya saya juga setuju untuk lebih banyak lagi media yang mengedukasi menengenai depresi ataupula kesehatan mental. Dimana di zaman gila yang serba cepat dan terlalu terburu-buru ini, permasalahan yang dihadapi manusia juga lebih kompleks dan rumit. Coba memahami permasalahan yang mereka hadapi secara objektif dan tidak mencibir itu bisa sangat membantau menurutku, dalam konteks ini.

      Hapus