Sabtu, 17 Maret 2018

Menyusuri Perangkap Kehidupan



Malam ini jalanan terasa begitu gelap dan hanya sesekali terlihat semacam cahaya kekuningan yang tak begitu jelas di serambi jalan. Sepertinya penglihatanku semakin kabur dibanding hari-hari sebelumnya, tepatnya di bagian mata sebelah kanan. Walau dalam pengartian sederhana ini tak begitu menganggu kegiatan keseharianku. 

Aroma udara sungguh terasa basah dan angin mulai berhembus merangsak masuk kedalam jaketku, entahlah mungkin sebentar lagi akan turun hujan sebab tidak ada selusin bintang yang terhitung di angkasa. Aku mempercepat langkah kedua kaki walau tidak berlari ini lebih cepat dari sebelumnya, sembari melompati beberapa got dan menendang  batu-batu kecil di pinggir jalan.

Sebenarnya aku sedang dalam keadaan sedikit kecewa, hingga akhirnya memutuskan untuk menyusuri jalanan sepi ini sendirian. Aku rasa aku sedang kehilangan seseorang untuk bicara tentang kegamangan, kepahitan hidup ataupula dunia yang tak ubahnya belenggu penjara. Sebelumnya memang tidak banyak orang yang bisa kuajak bertukar pikiran, terkadang aku membayangkan agar bisa hidup dalam kesunyian buku harian Anne Frank.

Kau tahu aku selalu memikirkan sesuatu dari apa yang telah aku baca sebelumnya. Misalnya saja sebelum ini aku baru saja menamatkan sebuah esai yang ditulis Albert Camus tentang kecintaannya terhadap kehidupan, tentu ini berisi tentang bagaimana ia memandangi kehidupan yang tergambar dalam sebuah kafe yang ia kunjungi. Ia mengaku bahwa terkadang ia terbuai oleh hal-hal yang memabukkan, di samping itu begitu banyak orang dengan mudahnya merasa seolah menemukan kepastian di dunia ini, serta dengan gamblang menyusun regulasi untuk mengatur alur kehidupan orang lain. Namun ia justru terkejut saat menemukan bahwa dunia tidak dibuat sesuai dengan selera dan keinginan manusia, melainkan untuk memerangkap manusia.

Benar saja, aku seperti manusia dalam esai yang sebelumnya telah aku baca. Hujan turun dengan begitu derasnya seperti serbuan keramaian di sebuah pasar tradisional. Aku terperangkap di depan sebuah toko dan ini tidak sesuai keinginanku. Perutku mulai terasa lapar, di malam seperti ini melahap segumpal nasi hangat saja sudah cukup bagiku. Memang dalam waktu berlainan aku bisa sangat pilih-pilih soal makanan, ini sama seperti ketika memilih buku di sebuah perpustakaan kota. 

Aku menarik ponsel dari saku celana, membasuhnya dengan kain kering dan membalas beberapa pesan yang telah mencuat di layar ponsel. Sembari menunggu hujan, untuk menghibur diri aku mengunjugi dunia maya dan melihat beberapa gambar yang mereka bagikan di lini masa. Yang membuatku sedikit resah dunia maya tentunya mendorong kita mengikuti bahkan menjadi seperti orang lain, misalnya saja hari ini semua orang sedang asik mengisi templete berisi apa yang mereka sukai, yang akan mereka lakukan atau tidak dan beberapa jenis lainnya. Barangkali dunia ini memang menuntut kita mengenakan pakaian yang serba seragam agar kita tidak tersampingkan. Ini adalah sebuah dunia lain, kerumunan orang-orang yang sedang berbicara tanpa pernah mendengar sedikitpun. 

Bila ada bahasa yang mewakili sebuah perasaan kegamangan aku ingin meminjamnya saat ini. Barangkali kita sedang terperangkap kesepian hujan hingga dunia yang sedang memburu kita untuk menjadi serba sama dan hidup tergesa-gesa. Namun, di dalam pikiran kita hanya bisa berteriak sekencang-kencangnya, tetapi tubuh hanya diam dan tersipu.

Aku tahu bahwa beberapa dari pikiranku bahkan semuanya ialah sebuah kekeliruan dan tidak mutlak kebenarannya. Dunia dan kehidupan memang begitu rumit dan tidak hanya sesederhana persinggahan di sebuah kafe ataupula pemberhentian ketika aku menunggu hujan. Sekali lagi aku mengamini perkataan Albert Camus bahwa dunia tidak dibuat sesuai dengan selera dan keinginan manusia, melainkan untuk memerangkap manusia. Kecintaan kita pada hidup seharusnya selalu bergandengan dengan keputusasaan terhadap hidup.

Hujan telah berhenti dan  menyisakan rintik di ranting serta beberapa air tergenang yang mencerminkan dunia dalam bentuk lain. Di depan toko terhampar begitu panjang jalanan yang basah dan becek, aku membuang sebotol minuman bersoda yang sebelumnya telah aku beli. Kembali menyusuri kegamangan pikiran dan jalan menuju pulang, berusaha pergi dan tidak terperangkap



Share:

3 komentar:

  1. Coba nonton film biar tidak sepi wekekek.

    BalasHapus
    Balasan
    1. The Florida Project, Phantom Thread, Spotlight, Shape of Water sedikit bisa mengusir sepiku hehe

      Hapus
  2. Kita bersabar menunggu El dan teman-temannya kalau begitu.

    BalasHapus