Sabtu, 04 Maret 2017

Menyoal Feminisme dan Kesetaraan Gender




Hal-hal terkait isu-isu feminisme dan kesetaraan gender bagi perempuan semakin hari semakin kentara dan kerap di diskusikan. Isu gender merupakan hasil konstruksi sosial yang terjadi di masyarakat dimana mereka memberikan stereotip pada peran perempuan dan laki-laki. Saat ini perempuan mencoba menghancurkan pandangan patriarki dimana perempuan dianggap sebagai kaum lemah dan mencoba semakin menunjukan eksistensi dan jati dirinya sebagai seorang manusia yang tiada beda dengan laki-laki. Mungkin beberapa dari masayarakat kita yang beratus-ratus tahun memegang teguh sistem patriarki akan mengindahkan atau menolak isu-isu semacam ini secara sepihak.

“Perempuan yang baik tidak boleh keluar hingga larut malam, tidak boleh merokok dan merajah tubuh ataupula hanya boleh di rumah dan mengurus anak.” Stigma-stigma yang semacam itu masih banyak berkembang serta diyakini banyak orang dan dimana menurut sudut pandang mereka hal-hal tersebut menjadi tolak ukur “baik” bagi seorang perempuan.

Tentu sebagai awam kita akan bertanya apakah itu bisa dianggap setara? Apakah itu sudah dianggap adil? dan banyak dari kita akan berargumen setuju dan tidak setuju serta bagaimana harus menilai dan memahami mereka dari sudut pandang sebagai sesama manusia.

Sebelum membuat tulisan ini saya terlebih dahulu meminta pendapat beberapa orang teman-teman diskusi untuk menanyakan tanggapan mereka mengenai stigma buruk terhadap perempuan yang merokok, mentatto tubuh, dll yang dianggap tabu serta bagaimana mereka memandang kesetaraan gender dan feminisme terlepas dari sistem patriarki serta batasan norma-norma yang berkembang di masyarakat. Saya telah merangkum beberapa tanggapan dari mereka perihal isu tersebut, seperti berikut :
“Manusia itu memiliki hak yang sama, tanpa melihat jenis kelamin, ras, agama dan kita semua memiliki hak yang sama dalam hal kesetaraan gender dan gerakan feminisme. Mereka (baca:perempuan) bebas mengeskploitasi dirinya demi popularitas, kesenangan, dll atas kemauan sendiri.”
Atau pendapat lain menyebutkan :
“Perempuan sudah sama derajatnya sehingga tak jadi masalah bila merokok atau mentatto tubuhnya tetapi yang membuat stigma buruk adalah laki-laki dan sistem patriarki itu sendiri terlepas dari konteks agama.”
Atau pendapat lain menyebutkan :
“Pada dasarnya norma tersebut melindungi wanita dan menghindarkan hal buruk akibat merokok ataupun tattoo yang menghalangi kesucian sebagai wanita itu sendiri.”
Atau pendapat lain menyebutkan :
“Kesetaraan gender memang harus dari segala aspek walaupun diskirminasi dan batasan wanita akan dan selalu tetap ada. Sesuai kodratnya sebagai seorang ibu (apabila ia memustuskan memiliki anak), yang terkadang membuat ruang gerak dipersempit”
Jadi, berdasarkan hasil percakapan dengan beberapa orang yang saya himpun beberapa dari mereka menunjukan sikap setuju dan sebagian lainnya tidak tentang isu-isu yang saya lemparkan, sehingga dapat kita tarik kesimpulan bahwa beberapa dari kita masih menerima kesetraan gender dan isu feminisme dari hal hal yang fundamental sekalipun namun ada juga segelintir orang yang tetap mempertahankan stigma buruk terhadap perempuan yang dianggap terlalu keras dalam berekspresi.

Stigma-stigma tersebut dapat kita analogikan dimana rokok dan tatto bukan bentuk ekspresi diri sebagai perempuan melaikan hal yang membuat citra buruk bagi kaum perempuan adalah rokok dan tattoo. Sehingga hal-hal semacam ini menurut Jean-Paul Sartre menyebutkan dalam buku “Seks dan Revolusi” bahwa manusia yang menganggap demikian adalah manusia yang telah memalsukan esensinya sebagai manusia itu sendiri.

Terkait kesetaraan gender dan gerakan feminisme tentu kita tidak bisa menampik bagaimana perlakuan laki-laki terhadap perempuan. Terdapat banyak kasus dimana para perempuan mengalami kekerasan verbal mapaun kekerasan fisik. Salah satunya menurut data yang dihimpun Komnas Perempuan dalam kasus kekerasan seksual saja dalam satu hari saja terdapat 35 orang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual artinya terdapat ribuan kasus memilukan ini, terlebih menyedihkan lagi dalam kasus ini banyak pihak menyalahkan korban (baca:perempuan) dengan alasan yang mengada-ada, seperti pakaian ketat yang digunakan atau tempat sepi yang dilewati.

Selain itu menarik apabila kita menyorot fenomena yang pernah kita nikmati dimana “Awkarin” menjadi perempuan yang dideskriditkan karena merokok dan memiliki tatto. Dalam konteks ini tentu sah-sah saja bila seorang perempuan mentatto tubuh, merokok atau memakai pakaian terbuka. Namun karena ukuran norma-norma dan sistem tertentu perempuan yang seperti ini dengan seporadis dikecam dan menjadi bahan gunjingan dan makian segelintir orang yang melabelkannya tidak baik, tanpa mengetahui hal-hal yang lebih dalam lagi tentang dirinya. Yang juga lebih menyedihkan tidak hanya kaum lelaki saja yang membuat stigma negatif terhadap perempuan yang seperti ini, melainkan juga para wanita itu sendiri. Kejadian ini menunjukkan bahwa secara tidak sadar kita belum bisa menerima kesetaraan gender dengan sepenuhnya, masih ada norma dan batasan tertentu yang menghalangi walaupun hanya dalam hal kecil saja “Ekspresi Diri” yang harusnya jadi hak yang sama bagi semua orang, tanpa dibeda-bedakan.

Sudah saatnya kita mengubah stereotip dimana wanita yang melakukakan ekspresi diri seperti merokok atau mentatto tubuh dianggap buruk dalam konteks kesetaraan gender tentu mereka tak ada bedanya dengan laki-laki yang dianggap wajar merokok ataupun menttato tubuh. Dalam konteks lain memang merokok tentu menyebabkan penyakit dal lain hal, namun tak adil bila hanya pihak perempuan saja yang didiskriminasikan padahal mereka akan mendapatkan dampak yang sama akan perbuatan mereka itu sendiri.

Telepas dari semua itu menilik lebih dalam lagi sejauh mana feminisme dan kesetaraan gender berkembang di sekitar kita. Salah satunya adalah Women’s March dimana aksi digagas oleh seorang nenek bernama Teresa Shook hingga bisa menggerakan jutaan warga amerika dari segala elemen masyarakat untuk melakukan aksi menyuarakan keberagaman dan menuntut hak-haknya sebagai wanita. Kemudian di Indonesia terdapat “Aksi Kamisan” dimana aksi ini digagas oleh-oleh para korban kekerasan dan pelanggaran HAM dan diantara mereka para ibu-ibu yang setia berdiri di depan Istana Negara setiap hari kamis. Kemudian ada “Kartini Kendeng” yaitu para ibu-ibu yang merasa geram dan terpasung , mereka menolak hadirnya pabrik semen di Pegunungan Kendeng dengan melakukan aksi-aksi semacam menyemen kakinya di kota kayu serta gerakan-gerakan lain yang digawangi para perempuan. Tentu hal-hal semacam ini dapat dikategorikan telampau luar biasa bagi seorang laki-laki yang melihatnya yang tentu saja mereka belum tentu bisa melakukan gerakan semacam ini. Peristiwa ini menujukkan perempuan sedang berada di garda terdepan dan dapat juga menyuarakan pendapatnya dengan lantang.

Sehingga, walupun dengan keadaan biologis yang berbeda bukan berarti seorang wanita tidak bisa melakukan pekerjaan laki-laki ataupun wanita dianggap lebih lemah dari pada laki-laki. Terlepas dari perbedaan-perbedaan yang dimiliki, wanita tetap memiliki hak dan harus mendapat perlakuan yang sama dari laki-laki. Pembagian- pembagian semacam ini disebut Simone de Beauvoir bahwa laki-laki bersifat “borjuis” dan perempuan adalah “proleter.”

Sejatinya kita harus lebih peka terhadap ekspresi manusia, memandang perempuan dengan sudut pandang sebagai manusia dan menilai prilaku manusia bukan atas dasar embel-embel yang telah melekat di dalamnya.

Karena pada kenyataanya masalah kesetaraan gender dan feminisme bukan hanya melawan sistem patriarki yang telah mengakar atau menyetarankan diri dengan kaum laki-laki tetapi merubah pula stigma buruk dimana para perempuan yang menganggap dirinya lebih baik daripada perempuan lain. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan harus dalam segala aspek kehidupan bukan hanya pendidikan melaikan perilaku sosial dan politik.


Referensi :
Jean-Paul Sartre "Seks dan Revolusi"
Simone de Beavoir "Second Sex"
LBH Jakarta dalam artikel Feminisme dan Gender


Share:

4 komentar:

  1. Apresiasi untuk surya yang sedang gemar menulis. Sedikit saran, hindari pengulangan kata dan juga paragraf pertama harus bisa menarik pembaca dan membuat pembaca penasaran tentang paragraf berikutnya. Hehehehe ini berdasarkan workshop yg saya ikuti yaa :)

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus