Jumat, 18 Mei 2018

Di Sebuah Kedai Teh






Aku menatapnya secara perlahan, aku dapat melihat mata hitam yang diselimuti kacamata oval dan sebuah topi kabaret melekat di kepalnya. Barangkali itulah caraku mengingatnya ketika pertama kali aku menemuinya di sebuah kedai teh. Sampai saat ini aku masih saja tidak tahu mengapa aku hanya bisa melontarkan sepatah kata saat bertemu denganya.

“Halo” kataku terbata sembari melambaikan senyuman kikuk kearahnya.

Ia tak menjawab dan hanya menginsyaratkan semacam gerak tubuh untuk menjawab salamku dengan nada kikuk tersebut. Mungkin pandangan pertama ataupula detik pertama saat aku bertemu dengannya memang tidak menghasilkan semacam reaksi yang cukup mendalam bagiku.

Entahlah, maksudnya aku ingin sekali berbicara, bertukar pandang dan mengahabiskan waktu berlama-lama dengannya. Namun sebelum itu sempat terjadi ia telah lebih dahulu mengusir dirinya dari kedai tersebut sembari ia meninggalkan tagihan di atas mejanya.

Sebelum terjadi pertemuan itu, aku terlebih dulu mengetahuinya melalui beberapa cerita yang dilontarkan oleh rekan-rekan kerjaku. Bagaimana musik yang sering ia dengar, kebiasaan yang sering ia lakukan, tempat ia bekerja dan berangsur-angsur tiap detail kehidupannya. Walaupun dalam beberapa kasus aku adalah orang yang tidak terlalu peduli tentang kehidupan seseorang, namun kali ini ada semacam perasaan yang mendorongku untuk lebih mengenalnya.

Aku tetap terdiam di pojok ruangan saat ia pergi, menopangkan siku di meja seraya meminum teh yang aromanya telah merasuki tubuhku. Sesekali mataku berjalan ke menuju pojok-pojok lain memandangi pelayan dengan pakaian putih ataupula terkekeh-kekeh mendengar percakapan orang-orang disekelilingku.

Sementara itu malam perlahan menuju puncaknya, kedai teh mulai sepi dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari tempat ini. Aku menghampiri meja kasir, menarik dompetku dari saku celana dan membayar semua tagihan ke panjaga kasir. Kini aku berjalan dan menghidupak sebatang sigaret yang kusimpan di dalam jaketku.

Rerumputan di piggir jalan mengawalku menuju pulang dan juga beberapa pohon yang mulai mencibirku dengan gesekan rantingnya. Kukira pohon-pohon itu sedang mendendangkan sebuah lagu yang memekakkan keheninganku dan sekejap aku berpikir ingin menceburkan diriku ke sebuah sungai agar suara-suara tersebut dapat hilang.

 “Aku adalah lelaki malang.” Suara yang mencuat dari gesekan ranting pohon kembali menusuk jantungku.

Sesampainya di rumah aku bergegas menuju kamarku, membuang sepatu dan jaket di lantai seraya membenamkan diriku kedalam ranjang. Bahkan aku lupa untuk sekedar membasuh wajah.

***
Aku membuka mata dengan terkejut akibat mimpi buruk yang baru saja aku alami. Namun, mimpi buruk itu masih saja belum bisa  aku lepaskan. Beberapa saat yang kulakukan hanya mematung berdiam diri dan merenungi kejadian itu. Seolah-olah aku merasakan kegetiran yang begitu mendalam pada saat ini.

“Mimpi yang begitu busuk!” Gumamku

Pagi hari ternyata lebih dulu bangun dibanding diriku, aku melihat sekelebat sinar hangat yang menyentuh pori-pori. Aku mengangkat diriku, membuka tirai pada jendela. Memandangi rumah-rumah dan puluhan kendaraan di jalan raya. Kamarku berada di lantai dua sehingga pada pagi hari tentunya aku bisa berlama-lama menyaksikan pergerakan manusia dari suatu titik yang lebih tinggi.

Beberapa minggu telah berlalu setelah peristiwa kepengecutanku di Kedai Teh. Aku masih saja sering memikirkan untuk bisa berkenalan dengan wanita itu. Aku bisa saja menelepon, tapi aku tidak ingin menganggu pekerjaanya. Pernah sesakali aku mengirimkan pesan untuknya tetapi tidak ada balasan sampai saat ini.

Aku pikir ini lucu. Tanpa aku sadari aku telah begitu terdorong dengan seorang wanita yang mungkin tak mengenaliku. Bahkan mungkin saja wanita tersebut enggan untuk menatap wajahku. Lagi pula ini semacam perjudian yang kemungkinan menangnya teramat sangat kecil.

Sebenarnya bisa saja aku mengunjungi rumahnya. Kau tahu, beberapa hari lalu aku telah mengetahui alamat rumahnya dari seorang rekan kerjaku. Ia menuliskan alamat wanita tersebut kedalam secarik kertas yang saat ini aku genggam. Tentu saja aku takkan mengunjungi rumahnya, itu adalah perbuatan konyol. Bukannya aku seorang pengecut tetapi aku adalah orang yang tidak pandai membuat sebuah percakapan, lelucon ataupula sekedar beremeh-temeh dengan seseorang.

Kerapkali aku betul-betul membenci diriku sendiri. Untungnya saja tidak banyak orang yang mencibirku walaupun cibiran tentu saja dapat mengubah sikapku yang begitu pengecut ini. Aku hanya bisa menuliskan kegamangan dan caci maki akan diriku sendiri kedalam sebuah buku catatan kecil, yang mungkin saja tidak berarti apapun.

Entahlah, aku hanya ingin memiliki satu kesempatan, yang mungkin saja menjadi harapanku yang terakhir kalinya. Aku ingin mengatur sebuah pertemuan dengan wanita itu, menghabiskan malam di sebuah kafe ataupula kedai tempat pertama kali aku melihatnya

Aku mengambil ponselku,  mencoba memberanikan diri untuk meneleponnya. Aku memikirkan bagaimana alasan untuk bisa mengatur pertemuan dengannya. Perasaan aneh menyelimuti dadaku, kau tau semacam perasaan yang tidak akan pernah bisa dijelaskan, perasaan yang akan menucul ketika kau dala keadaan gugup yang luar biasa.

Akhirnya aku memaksakan diri untuk menekan tombol panggilan di ponselku, terdengar suara sambungan namun belum juga ada jawaban darinya. Panggilan pertama gagal, tidak mendapat jawaban. Kulanjutkan untuk kedua kalinya dan masih tetap sama. Pada saat kuulangi ketiga kalinya, terdengar suara dari ponselku.

“Hallo,”

“Ini Siapa?”

“tut… tutt... tuut…”

Suara dingin seorang pria muncul dari ujung ponselku, seirama dengan itu aku langsung memutuskan panggilan tersbut tersebut. Siapakah orang tersebut dalam benakku, apakah itu kekasihnya, ayahhnya atau orang lain yang tidak aku kenal.  Sekali lagi aku gagal, aku telah kehabisan cara dan tidak akan pernah meneleponnya, aku benar benar tidak sanggup untuk mendengar kenyataan bahwa orang berbicara denganku tadi adalah kekasihnya

Aku berpikir bahwa seharusnya ini memang tidak pernah aku lakukan. Tentunya aku tidak bisa mengahapus segala kekonyolanku ataupula mencoba mereka-reka bahwa sejatinya itu hanyalah omong kosong semata. Aku terdiam terus-terusan dengan pandangan yang begitu kosong, seolah-olah sedang mengalami mimpi buruk.

Aku kembali melihat-lihat dari atas balkon, hanya ada beberapa pohon sejauh pandanganku, mungkin delapan ataupula sepuluh, mobil dan motor berseliweran tanpa henti sedangkan rumah-rumah berhimpitan dan bergandengan di sana sini; aku berpikir seperti inilah dunia yang disesaki manusia, penuh kebisingan dan kesepian.



Bandar Lampung, 17 Mei 2018

Share:

1 komentar: