Rabu, 08 Maret 2017

Musik Sebagai Medium Perlawanan




Apakah musik bisa dikatakan hanya sebatas rima dan alunan nada-nada yang dilantuntakan dengan begitu syahdu dan hanya memanjakan pendengarnya saja. Dimana saat ini begitu banyak aliran atau genre musik yang berkembang luas di masyarakat dari mulai musik kulture pop yang sendu hingga musik-musik keras menimbulkan suatu kebisingan yang luar biasa. Musik memang telah menjadi budaya bagi semua kalangan bukan previlage yang hanya dinikmati segelintir orang. Lalu bagaimana jika suatu musik dapat membentuk bahkan memprakarsai suatu ekosistem ataupun paham pergerakan tertentu bagi penikmatnya, dimana musik tidak hanya untuk di dengar melaikan sebuah medium perlawan bagi mereka.

Disini saya bukan seorang yang begitu mengerti mengenai teori musik atau hal yang lebih mendalam dan fundamental tentang musik itu sendiri bahkan untuk bernyanyi sesuai dengan irama musik pun bisa dikatakan terlalu sulit bagi saya. Namun disini saya akan mencoba melihat musik sebagai medium perlawan bedasarkan kacamata seorang awam.

Dalam musik yang mengandung unsur dan hagemoni perlawanan, lirik menjadi jembatan untuk menyuarakan kegelisahan serta kritik sosial yang ingin mereka sampaikan. Sikap yang disuarakan oleh pencipta lagu tersebut kerap kali dapat menarik simpati dan mengubah pola pikir pendengarnya. Musik seperti ini biasanya merisalahkan suatu fenomena atau isu-isu sosial politik yang berkembang di masyarakat sekitar sehingga mendapatkan tempat dan suatu hubungan emosional tersendiri dengan para pendengarnya. Jadi secara tidak langsung musik menjadi suatu alat perlawanan dan medium propaganda tanpa kita sadari.

Pada abad ke-19 di Amerika Serikat blues menjadi identitas perlawan bagi para budak kulit hitam pada saat itu, dimana blues menggambarkan kesedihan kaum kulit hitam yang dianggap budak oleh kaum kulit putih yang disebabkan feodalisme dan kolonialisme pada saat itu. Pada akhirnya musik ini bisa mendapatkan simpati dan menjadi salah satu pintu bagi kaum kulit hitam untuk mendapatkan kembali haknya sebagai manusia.

Punk hadir di era 70an dan Sex Pistols menjadi pelaku utama pada masa itu, punk hadir dengan ideologi anarkisme yang dibawanya. Anarkisme menganggap bahwa pemerintahan ( Negara ) itu bukan saja tidak diperlukan tapi juga berbahaya. Punk yang awalnya hanya berkembang di Inggris karena sistem monarkinya saat ini telah menyebar luar di berbagai Negara termasuk Indonesia. Saat ini punk bukan hanya sekedar musik melaikan telah menjadi gaya hidup untuk mereka yang hidup di dalamnya. Di Indonesia punk bergerak secara militan di berbagai daerah dan meraka aktif membuat zine dan menyanyikan lagu-lagu perlawanan.

Beda dengan blues dan punk, musik reggae telah menjadi indentitas tersendiri yang melekat selain gaya rambut dreadlock sebagai cirri khas tersendiri bagi kaum Rastafarian untuk menolak patuh, melawan diskriminasi ras dan segala bentuk praktik perbudakan yang telah lama mereka alami akibat neo-kolonialisme bangsa-bangsa Eropa terhadap bangsa Afrika.

Di Indonesia sendiri musik sebagai medium perlawanan sebenarnya telah ada sejak era pergerakan melawan sistem kolonialisme Hinda Belanda dan imperialime Dai Nippon dimana lagu-lagu tersebut digunakan untuk membakar api semangat para pejuang kemerdekaan. Lalu pada zaman kekuasaan otoriter ciri khas Orde Baru dimana dialektika dan kebebasan bersuara terkerankeng dan dipangkas habis hingga porsi terkecil, memunculkan iklim perlawan melalui musik yang bisa menyuarakan kegelisahan mereka tentang rezim tersebut seperti Iwan Fals dengan lirik kritis yang bisa dibilang sebagai antitesis Orde Baru.

Terlepas dari itu semua baru-baru ini saya sempat mendengarkan sebuah album berjudul “Dunia Milik Kita” yang ditembangkan oleh paduan suara beranggotan para keluarga atau mereka yang pernah ditahan, dipenjara, dibuang, diasingkan, dan dibuat melakukan kerja paksa tanpa pernah tahu kesalahannya saat meletus peristiwa 1965. Paduan suara Dialita (Di Atas Lima Puluh Tahun) hadir menyanyikan suara sumbang, sunyi dan suara yang sempat dibungkam akibat kekejaman rezim yang berkuasa saat peristiwa kelam 1965. Dalam musik ini mereka menceritakan pengalaman mereka tentang bengisnya Negara ini, mereka sebagai penyintas ingin menegaskan bahwa mereka masih ada dengan harapan-harapan baru yang mereka bawa.

Berbagai uraian tersebut menjelaskan bahwa musik memang begitu syarat makna dengan idoelogi dan kritik perlawanan yang diembannya. Musisi semacam ini akan tetap ada dan bergerak secara militan ditengah arus deras kapitalisme dan industri musik yang hanya berusaha memuaskan konsumen semata. Mereka lebih bergerak secara bergeriliya di scene indie label dimana mereka memproduksi dan memasarkan musik mereka secara sendiri. Musik ini lebih menekan idealisme di dalamnya daripada mereka yang ada di mayor label memproduksi musik hanya untuk memuaskan kebutuhan pasar yang ada.

Untuk mengubah industri yang saat ini bersikap pragmatis memang sulit dimana industri ini memang tidak komersil dan industri ini semacam berada di ruang sempit dengan sedikit peminatnya. Hanya musisi yang memiliki kesadaran sosial dan ingin mengugah kesadaran perlawanan bagi mereka yang bersikap apatis.

Musik memang bukan sekedar idiom yang hanya dapat dijelaskan dalam konstruksi dan pengartian sempit dimana musik hanya sebatas nyanyian syahdu atau irama musik yang indah. Musik telah melapaui batas dan maknanya sendiri, musik mejadi subuah konteks alat atau medium untuk mereka yang ingin menyampaikan bahasa protes dan perlawanan, suara sumbang yang harusnya di dengar oleh banyak orang. Musik dapat membawa gairah perlawanan yang secara pelan-pelan mampu mendorong kesadaran kolektif baru atas posisi dan peran masyarakat dalam sistem yang mengekang.

Akan lebih indah apabila musik hanya bisa mereprentasikan keindahan ataupun menyenangkan pendengarnya tetapi musik akan dianggap sakral apabila dapat menggerakan massa, membuka tabir penindasan, membuka dan merubah cara berfikir rakyat yang sebelumnya terpenjara.

"Apabila aku sudah tidak bisa melawan dengan menggunakan buku dan tulisan maka medium terbaik adalah musik itu sendiri".


Referensi
http://revi.us/musik-sebagai-perlawanan/
http://www.rollingstone.co.id/article/read/2015/05/26/140502201/31/musik-dan-budaya-perlawanan
http://yesnowave.com/yesno083/
Share:

0 komentar:

Posting Komentar