Jumat, 07 April 2017

Di Balik Langkah Budaya Baca



Akhirnya saya bersama ketiga sahabat saya yang lain (Ardi,Shandi,Pipit) berhasil untuk menjangkahkan kaki kami bersama-sama dengan mengusung nama “Budaya Baca” sebagai tajuk utama. Budaya Baca adalah wadah yang kami gagas untuk menebarkan semacam wabah gemar membaca buku kepada orang-orang yang ada di sekeliling kami. Dan disini kami ingin mencoba mengkritik sekaligus memberikan jalan bahwa membaca bukan sebuah kegiatan yang terkesan sia-sia bahkan begitu membosankan.

Perpustakaan jalanan adalah medium yang digunakan Budaya Baca untuk mengagitasi banyak orang untuk tertarik membaca buku. Kami berempat menenteng koleksi buku pribadi masing-masing untuk dibawa ke Perpustkaan Jalanan yang kami jadwalkan setiap hari Rabu bertempat di Universitas Lampung dan setiap hari minggu di area Car Free Day, Bundaran Gajah. Kami menyusun sedemikian rupa koleksi buku kami di atas alas terpal semacam pedagang hamparan pasar tradisional, dan buku-buku itu bisa dibaca siapapun dengan gratis.

Sebenarnya ide dan nama Budaya Baca sudah terbentuk sejak tahun lalu, ketika itu berawal dari sekedar obrolan saya dengan Ardi. Ardi adalah salah satu dari sekian sahabat saya yang memiliki kegemaran sama dalam hal membaca buku, hingga pada suatu ketika kami membaca sebuah artikel yang menuliskan tentang fakta menyedihkan yaitu hanya 0,001% penduduk Indonesia yang memiliki minat baca. Di pantik fakta tersebut hingga kami berdiskusi panjang dan akhirnya memutuskan untuk ikut andil meningkatkan minat baca dengan membuat perpustkaan jalanan semacam yang dilakukan beberapa komunitas seperti Pecandu Buku, Aliansi Literasi Surabaya, dll.

Namun karena beberapa hal dan begitu remeh-temeh untuk saya ceritakan. Singkatnya saja ide tersebut hanya mangkrak tanpa realisasi dan tanpa arti apapun, serta hanya menghasilkan akun instagram @budayabaca saja. Jika kalian dulu ada yang bertanya kenapa sebelumnya tak merealisasikan? Maka akan saya jawab dengan berdalih “Kami sedang sibuk kuliah.”

Hingga akhirnya datang sehimpun semangat baru berwujud Shandi dan Pipit yang menghidupkan kembali gairah saya untuk merealisasikan Budaya Baca. Sebelumnya saya memang sudah mengenal dekat Shandi karena dia juga di kampus yang sama dengan saya dan Ardi. Dan Pipit saya kenal melalui Shandi ketika kami menghadiri sebuah acara nonton bareng pemutaran Film Biografi Wiji Thukul “Istirahat kata-kata” di sebuah bioskop di kota kami. Shandi dan Pipit pada saat itu memang telah merintis sebuah Taman Bacaan Masyarakat di lingkungannya dan hal ini yang bisa dikatakan menjadi irisan pada akhirnya hingga kami berempat kembali mendiskusikan untuk membuat Perpustakaan Jalanan dan tetap menggunakan Budaya Baca sebagai nama yang kami usung.

Begitulah singkat ceritanya, hingga akhirnya kami memberanikan diri untuk terjun langsung kemasyarakat dengan begitu banyak keterbatasan. Sebulan kami telah bergeriliya, mencoba ikut melawan kemalasan membaca buku. Menjelaskan kepada mereka bahwa membaca bukan sekedar duduk diam selama berjam-jam. Melainkan dengan membaca kita bisa mengunjungi begitu banyak tempat, melihat begitu banyak kehidupan, puluhan ketamakan manusia, ratusan cara jatuh cinta dan ribuan pola pikir manusia itu sendiri.

Saya setuju dengan kata yang sering dilantunkan oleh Najwa Shihab, dimana menurutnya :

“Hanya butuh satu buku saja untuk bisa gemar membaca buku. Maka bacalah buku dan temukan buku itu.”

Begitulah visi kami di Budaya Baca, semoga kami bisa menghadirkan sebuah buku yang membuat orang-orang di sekeliling kami bisa mencintai baca buku.


Minat Baca Di Lampung

Di Lampung sendiri akses untuk memperoleh buku cukup sulit, tidak semua wilayah dapat kita temui toko buku, perpustakaan dan taman baca yang mudah dijangkau. Dengan terbatasnya akses seperti ini membuat orang-orang menjadi malas untuk membaca, bukan berarti mereka tidak mau membaca melainkan akses terhadap buku masih sulit diperoleh.

Selain akses yang tidak memadahi, buku-buku yang ada di perpustakaan atau taman baca bisa kita katakan tidak menarik untuk dibaca. Saya ambil contoh Perpustakaan yang ada disekolah-sekolah, buku buku yang ada disana hanya sebatas buku pelajaran saja dan jika ada buku lain mungkin hanya ada cerita rakyat atau dongeng-dongeng yang itu itu saja. Apa pernah kita melihat buku semacam biografi tokoh-tokoh Nasioanal seperti Seorkarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka, Natsir atau juga novel novel terkemuka seperti Max Havelaar, Bumi Manusia di perpustakaan sekolah? Tentu tidak.

Rendahnya akan pengetahuan tentang buku-buku ini lah yang membuat generasi ini tidak memiliki rasa cinta terhadap karya sastra. Apakah mereka pernah membaca karya pesohor seperti Multatuli, Pramoedya Ananta Toer, Pablo Neruda, Anton Chekhov, Albert Camus, Leo Tolstoy , dll . Tentu hanya segelintir orang yang mengetahui dan membaca karya-karya mereka.

Selain hal-hal itu , yang menjadi menyedihkan saat ini membaca hanya karena sebatas ikut-ikutan. Mereka hanya membaca buku-buku yang sedang ramai dibicarakan di sosial media ataupun buku yang ditulis oleh idolanya dan parahnya setelah buku itu selesai, mereka tidak membaca lagi.

Di lingkungan kampus-kampus yang ada di Lampung juga jarang sekali kita temui kegiatan-kegiatan semacam diskusi atau bedah buku. Ini juga berlanjut dengan jarangnya kita temui kelas-kelas menulis di Lampung. Sungguh menyedihkan, mahasiswa yang harusnya terpelajar malah tidak memiliki ketertarikan dalam hal membaca buku. Mungkin ada, tapi bisa saya bilang hanya sedikit untuk saat ini.

Akibat minat baca yang sangat rendah di Provinsi Lampung jumlah penulis yang bermunculan juga bisa dibilang rendah. Dengan demikian kita tentu jarang sekali bahkan tidak pernah membaca buku yang ditulis oleh penulis asal Lampung

Memang untuk urusan ini tidak hanya diperlukan peran pemerintah saja melainkan peran individu-individu yang peduli untuk menyebarkan virus cinta membaca buku. Saat ini sudah ada beberapa komunitas dan perorangan yang terut menggalakkan minat baca di Lampung, misalnya Motor Pustaka, Forum Lingkar Pena yang membuat lapak baca gratis setiap minggu di area GSG Universitas Lampung dan komunitas lain yang tidak bisa saya sebutkan.

Perpustakaan bisa saja didirikan, buku-buku bisa ditulis dan di terbitkan kembali tapi bila tak ada orang-orang yang membaca dan mencinta buku-buku apa gunanya semua itu. Saya mengakhiri tulisan kali ini dengan mungutip kalimat dari Zen Rs yang bunyinya seperti ini kira-kira

“Yang berbahaya dari menurunnya minat membaca adalah meningkatnya minat berkomentar.”


Share:

0 komentar:

Posting Komentar