Rabu, 16 Agustus 2017

Menerka Makna Merdeka




Kalau ada yang bertanya apakah yang kau ingat perihal peristiwa tujuh belas Agustus?

Barangkali aku akan menjawab secara gamblang bahwa yang paling aku ingat hanyalah semarak bendera warna warni dipinggir jalan dan kibaran bendara merah putih paling besar diantara yang lainnya. Selain itu mungkin perlombaan turun-temurun yang selalu ada setiap tahunnya semacam balap karung, makan kerupuk, panjat pinang dan masih banyak lagi tentunya tak perlu aku ceritakan karena akan buang buang waktu saja, benar begitu? Terlebih lagi ketika kau menyalakan televisi hampir semua acaranya akan menyuguhkan tontonan dengan tema kemerdekaan sepanjang dua puluh empat jam tanpa henti, melelahkan bukan?

Namun yang paling aku suka selain suara Sukarno membacakan teks proklamasi yang familiar ditelinga dan dokementasi sejarah yang diputar ulang secara massal, selain itu yang paling kita tunggu ialah hagemoni upacara bendera di Istana Presiden. Jam sepuluh Waktu Indonesia Barat tepatnya sebagian mata penonton televisi seperti aku ini akan menyaksikan upacara rutin yang diadakan setiap tahunnya. Namun semua itu ialah cerita yang hampir setiap orang di Indonesia rasakan setiap tanggal tujuh belas Agustus.

Aku tidak akan menyajikan kisah-kisah heroik atau yang disebutkan Sabda Armandio bahwa kisah kebaikan yang selalu mengalahkan kejahatan sehingga membuatmu berpikir tumpul dan zalim, sebab kau telah berulang kali membaca cerita semacam itu sehingga kau bosan. Aku ingin mencoba menerka makna merdeka berdasar pecahan cermin-cermin yang lain.

Beberapa hari lalu aku bersama teman di komunitas baruku memulai langkah pertama kami, mengajar dengan konsep fun learning di salah satu yayasan yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari pusat kota. Semua berjalan menarik dan berjalan lancar dengan sedikit kendala yang semuanya dapat diatasi dengan baik. Hingga ketika melakukan game ranking satu untuk siswa kelas 4,5 dan 6 kami menemukan sebuah jawaban lucu sekaligus bigutu miris, ketika kami bertanya “Siapakah Presiden pertama di Indonesia?” beberapa menjawab Jokowi namun ada pula yang membuat kami menggelangkan kepala ketika yang mereka tuliskan ialah sebuah nama “Zainuddin” ataupula ketika kami bertanya “Apa nama Ibukota Indonesia?” tidak semua dari mereka bisa menuliskan Jakarta sebagai jawabannya terlebih lagi ada yang menuliskan “Kartini” sebagai Ibukota Negara kita, mungkin ia hanya terlampau sering menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini.”

Atas kasus yang aku alami diatas menunjukkan bahwa akses informasi dan kualitas pendidikan yang baik masih menjadi previlage yang hanya bisa dinikmati segelintir orang saja. Pembangunan infrastruktur semacam roket yang tak mampu dibendung, semua bisa dilakukan atas nama pembanguan sepertinya. Sedangkan pembangunan manusia berjalan begitu lambat semacam gerobak yang ditarik seekor lembu yang letih berjalan. Tentunya aku tak bisa mendakwa tanpa alasan pasti bahwa semua ini salah pemerintah, sekolah ataupun manusia itu sendiri. Namun persoalan ini tetap patut kita diskusikan sehingga sekolah tidak tergerus dan kehilangan maknanya dan kita tak menjadi manusia bodoh yang berpikiran sempit serta hanya tahu cara beranak pinak. Sebab bukankah ilmu pengetahuan ialah hak semua anak bangsa dan satu satunya yang tak bisa direnggut dari hidup seorang manusia. Jadi, apakah sudah merdeka pendidikan kita?

Kemarin seorang sahabatku baru saja menghadap dosen pembimbing dengan membawa puluhan lembar kertas skripsi yang dibuat dengan mencurahkan segala pengetahuan yang ada di kepalanya. Membaca jurnal ataupun buku pedoman lain yang sekiranya membantu sudah ia lakukan, dan tetap saja salah lagi. Hal semacam itu tentunya seringkali dialami mahasiswa tingkat akhir seperti kami, namun yang membuatku sedikit gusar ialah ketika dosen tersebut menolak dikritik pendapatnya oleh sahabatku dengan dalih yang menurutku mencerminkan sikap yang begitu angkuh. Beginilah kira-kira jawaban dosen tersebut ketika memupuskan argumennya sahabat saya “Saya sudah belasan tahun bekerja di bidang ini, Jadi siapa yang lebih mengerti? Saya atau kamu?” dan tentunya jawaban terbaik dan bersikap hormat ialah menjawab beliaulah yang paling benar.

Kejadian tersebut tentunya membuatku merenungkan kembali kata-kata Soe Hok Gie yaitu “Guru yang tak tahan kritik boleh masuk keranjang sampah. Guru bukanlah dewa yang selalu benar dan murid bukanlah kerbau.” Kebebasan mengemukakan pendapat sepertinya belum disikapi secara bijak oleh semua orang, bahkan seorang pengajarpun dapat berlaku serupa diktator yang menyumpal pendapat ataupun mengkrangkeng pikiran setiap muridnya. Aku selalu benci dengan dunia semacam ini, ketika segelintir orang menciptakan asumsi bahwa dirinya lebih dibanding manusia yang lainnya hanya berdasar suatu ukuran tertentu. Sudahkan kita merdeka dalam berpendapat?

Aku kira Negara ini ialah secercah cerminan dunia yang begitu lengkap dengan ribuan tafsir didalamnya, keindahan cerita cinta dan pesona alamnya tak perlu dijabarkan lagi sebab semua dapat kau nikmati setiap saat menggunakan jari-jari pintarmu. Namun, dibalik semua ini tersimpan penyakit kronis yang seringkali melahirkan nafsu dan kebencian tiap manusianya. Barangkali sebagian dari kita akan bertarung mati-matian untuk suatu hal yang kita yakini apakah itu idealisme ataupun kepercayaan, bahkan hal semacam ini dapat memicu perdebatan sengit atapun permusuhunan yang tak penting. Aku tak pandai menerka-nerka, namun aku ialah seorang yang selalu ingin bermimpi hidup di dunia dengan manusia yang menjujung tinggi nilai-nilai humanisme universal, dunia tanpa rasa kebencian terhadap Suku, Agama, Ras, dan Etnis apa pun serta semua manusia bersatu menolak peperangan dan mewujudkan dunia yang lebih baik. Namun, bukankah mimpiku sangat tidak rasional?

Barangkali aku hanya mengutarakan keresahanku yang telah meluap-luap ini, hingga kau teramat bosan untuk mendengarkan beratus ratus kata tanpa pesan moral sedikitpun. Aku akui aku bukan seorang penulis yang bijak yang selalu menyisipkan berlusin lusin kata penuh makna yang membuatmu memiliki perbendaharaan kata mutiara yang lebih baik.

Sejatinya aku ingin menulis lebih banyak lagi tentang makna merdeka dalam konteks yang lain, sudahkah kita merdeka sebagai seorang anak? Sudah kaum buruh dan petani merdeka? ataupula masalah lain seperti kesetaraan gender dan lain sebagainya. Namun sepertinya pembahasan tersebut kan saya tulis dalam sebuah fragmen tersendiri.

Namun aku kira sebaiknya kalian segara melupakan aku dan mulai membaca sebuah puisi ditulis seorang juru selamat sastra kontemporer, Sutardji Calzoum Bachri :

WAHAI PEMUDA MANA TELURMU?
Apa gunanya merdeka
Kalau tak bertelur
Apa guna bebas
Kalau tak menetas?

Wahai bangsaku
Wahai pemuda
Mana telurmu?

Kepompong menetaskan kupukupu
Kuntum mengantar bunga
Putik memanggil buah
Buah menyimpan biji
Biji menyimpan mimpi
menyimpan pohon
dan bungabunga

Uap terbang menetas awan
mimpi jadi
sungai pun jadi
menetas jadi
hakekat lautan

Setelah kupikir pikir
manusia itu
ternyata burung berpikir

Setelah kurenung renung
manusia ternyata
burung merenung

Setelah bertafakur
Tahulah aku
Manusia harus bertelur

Burung membuahkan telur
Telur menjadikan burung
Ayah menciptakan anak
Anak melahirkan ayah

Wahai para pemuda
Menetaslah kalian
Lahirkan lagi
Bapak bagi bangsa ini!

Ayo Garuda
Mana telurmu?
Menetaslah

Seperti dulu
Para pemuda
bertelur emas
Menetaskan kau

Dalam sumpah mereka.

Semoga kau berbahagia dan penuh makna.




Share:

0 komentar:

Posting Komentar