Senin, 25 Juni 2018

Yang Tak Mekar dan Yang Belum Rampung


Photo by Jonathan Ducruix


Mengadopsi kalimat Kafka, aku terbangun suatu pagi dari suatu mimpi yang kacau, walaupun aku tidak mendapati diriku berubah menjadi seekor serangga raksasa. Pagi ini aku kembali kembali mengulang pertanyaan sebelumnya, pertanyaan yang belum rampung aku jawab.

Apakah aku menjadi diriku hari ini? Apakah aku mencoba menjadi orang lain? Pertanyaan semacam itu memang begitu mengusik dan seringkali sangat menyebalkan bagi diriku.

Apakah kalian pernah merasa bahwa ada seseorang yang hidup di tengah kita dan secara berangsur-angsur mengendalikan kita. Merampas apa yang kita inginkan. Merenggut kenangan yang kita miliki.

Beruntunglah jika dirimu yang dapat menikmati setiap pagi dengan sebuah perasaan yang baik dan sikap optimisme yang membuatmu teramat bersemangat untuk merenggut hari ini dengan paripurna. Namun, bagi kalian yang merasakan hal yang sama denganku mari kita berteriak.

Persetan!

Aku beranjak dari kamar tidurku, dari balik kaca jendela aku melihat sebatang mawar di sebuah pot di depan rumahku. Aku saksikan sebagian daunnya mulai meranggas di tanah dan berberapa tangkai bunga terkulai lemas bahkah sudah pupus sebelum ia mekar mewangi. Barangkali inilah gambaran mengenai sebuah penderitaan, sebuah potret keburukan manusia yang kerapkali mengabaikan apa yang ia miliki. Mungkin hal semacam ini tidak akan terjadi apabila aku merawatnya dan menyiraminya secara teratur saban hari. Ia menghilang sebelum ia mekar.

Semua tinggal penderitaan, hanyalah itu yang tersisa. Bagi bunga itu, bagi diriku.

Apa yang kalian lakukan di hari ketika bunga yang kau tanam mati ataupula hewan peliharaan yang kau cintai meninggal? Dengan perasaan yang tidak baik tentunya dirimu hanya ingin berdiam diri, tidak bersemangat pergi bekerja, dan hanya ingin menempelkan seluruh punggung ke kursi ataupula bersemunyi di kamar seharian.

Tidak ada yang menyenangkan hari ini, tidak seperti hari-hari sebelumnya walaupun dalam artian sesunguhnya aku tak begitu sering merasa gembira. Baiklah, harus ku akui bahwa beberapa kali aku memang bisa menemukan kegembiraan misalnya saat berkumpul bersama teman-temanku atau saat aku mengajak seorang gadis pergi ke cafeteria.

Aku lebih senang menghabiskan sebagian waktuku untuk berdiam diri dirumah, membaca adalah kegiatan yang paling sering aku lakukan. Aku tak suka menonton televisi karena bagiku hanya ada acara yang menjijikan, televisi menyuguhkan ketololan yang terlampau berlebihan. Bayangkan saja begitu banyak acara yang mempertontonkan sirkus kemiskinan, melodrama yang memuakkan dan yang paling baru tentunya menu horror yang semakin membabibuta. Entahlah, bagaimanapun masih banyak orang yang menyukai tontonan semacam itu. Sekali lagi persetan bagi kalian.

Mungkin kalian masih meyakini bahwa seharusnya hidup adalah segala hal untuk mensyukuri dan menerima tetapi kadangkala kita malu untuk menungkapkan bahwa hidup juga tidak lepas mencibir dan mencela apa yang kita alami. Terakhir kali aku membaca sebuah buku berjudul Catatan Dari Bawah Tanah-nya Dostoyevsky. Dalam bebrapa kalimat awal aku menemukan sebuah kenikmatan dalam sebuah kehinaan manusia. Manusia yang tidak memakai topeng, manusia yang menunujukan ke-akuan-nya.

“Aku orang sakit. Aku orang pendendam. Aku orang tidak yang menyenangkan.” Begitulah ungkapannya.

Semestinya kita harus menghadapi kenyataan bahwa hidup ini bukan hanya soal memikul kebanggaan, tetapi juga ada ihwal lain seperti kelemahan dan keterasingan yang perlu didengarkan. Mungkin hidup ini memang seperti sebuah lelucon dan tragedi berulang. Tentang menjawab pertanyaan yang belum rampung dan tentang menunggu yang tak pernah mekar.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar