Kamis, 16 Agustus 2018

Mabuk Kemurnian dan Memuntahkan Akal Sehat

Minum Tuak karya Affandi (1987)
Selepas reformasi seharusnya ditandai dengan euforia kebebasan intelektual, moral, pilihan politik dan juga terjaminnya hak dalam memilih –atau tidak memilih– jalan menuju Tuhan. Sayangnya kita terjebak sebuah paradoks, kita dihadapkan dengan masyarakat yang candu terhadap penolakan intelektual dan menggandrungi dogma konservatif, sentimen kelompok sebagai diskursus pengambilan keputusan publik yang seharusnya rasional.

Saya rasa kita berada dalam konflik antara mereka yang menolak dan mereka yang menerima bahwa negara musti melepaskan masalah-masalah Agama dalam kehidupan bernegara. Hampir setiap orang termasuk saya, terikat dengat kebenaran pokok dalam kitab-kitab sehingga tidak perlu adanya pemikiran alternatif dan spekulatif. Sehingga yang menolak tentunya akan tersingkir dan dianggap ateis, anti pancasila tidak Indonesia dan sebagainya.

Diskursus perdebatan publik kita diolah secara piawai dan hanya berputar sebatas pertukaran pikiran yang memuakan untuk dicerna serta arus deras yang menggerakan masyarakat menuju sebuah obsesi terhadap kemurnian.

Siapa yang lebih religius?
Siapa yang lebih anti asing?
Siapa yang paling pribumi?

Argumem semacam itu selalu menjadi hidangan makan malam yang paling laris dalam setiap kontestasi politik.

Hal tersebut semakin subur dipupuk oleh sikap fanatisme dan fundamentalisme, terlebih lagi filsafat demokrasi kita diterjemahkan sebatas “suara mayoritas” dan bukan menjamin hak suara dan ruang untuk minoritas.

Mungkinkah generasi kita tidak lagi mementingkan logika dan akal sehat dalam kehidupan publik dan bernegara. Kita jarang dan malas sekali berdiskusi atau berdebat soal kemanusiaan, internasionalisme, eksistesialisme, persamaan hak atau kebebasan menjadi manusia seutuhnya.

Lantas seperti apa utopia peradaban yang kita impikan? Apakah peradaban yang tidak rasional dan menyampingkan akal sehat?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar