Senin, 01 Oktober 2018

Penolakan dan Keputusasaan


Pria tua itu tidak pernah mengetahui dirinya sendiri. Apa yang ia lakukan ataupula yang ia cemaskan setiap hari. Ia seperti sedang berpikir bahwa tidak ada sesuatu yang berarti untuknya, sesuatu yang bisa ia perjuangkan sebagai seorang manusia.

Ia selalu mengawali sebuah hari dengan menghabiskan beberapa puntung rokok di mulutnya, memandangi puluhan orang yang berlalu-lalang dengan gaya sinis. Kerap kali juga ia tertangkap sedang tidur di sebuah padang rumput, memandangi langit berjam-jam lamanya hingga ia tertidur.

Dari beberapa percakapan yang aku lakukan, kuketahui bahwa pria itu adalah seorang penyendiri. Ia hidup di sebuah rumah milik ayahnya sendirian. Ia tidak pernah terlihat memiliki kerabat, seorang teman ataupula kekasih untuk berkencan. Ia hanya memiliki seekor anjing bernama Siro. Barangkali ia memang sangat membenci manusia, pikir ku.

Seperti seorang pemabuk yang menenggak habis beberapa botol anggur, aku melihatnya di sebuah persimpangan jalan dekat dengan rumahku. Tubuhnya yang terlihat renta itu bergerak sempoyongan, kakinya seperti tak mampu untuk menopang dan berjalan normal.

“Apa yang terjadi kepadamu?” tanyaku ingin tahu.

Aku melihat wajahnya yang begitu letih dengan sorot mata yang muram dan kemerahan. Kesulitan semacam apa yang telah ia alami. Aku tak bergidik dan mencoba mendengar keluhannya.

“Berapa lama lagi aku dapat menahan siksaan ini. Hidup ini begitu kejam kepadaku. Aku sudah tidak tahu, aku tak…” Ia bergumam begitu lirih.

Ia langsung melengos pergi dan tak peduli dengan percakapan yang aku mulai. Perlahan-lahan pria itu berjalan begitu jauh meninggalkanku di sebuah kota bermandikan peluh dan cahaya yang begitu muram.

***

Aku adalah seorang pemuda dua puluh tahun, seorang yang bekerja di perusahaan milik mendiang ayahku. Aku memang bukan orang yang menarik dan terlalu terkenal. Tetapi tentu saja itu tidak mengurungkanku untuk bergaul dengan banyak orang. Aku selalu menghabiskan malam dengan mengolok-olok dan mentertawai kehidupan di sebuah bar milik temanku. Seringkali aku mengunjungi tempat perjudian hanya untuk menghaburkan uang, aku tidak pernah menang dalam hal ini.

Aku yakin aku tidak terlalu berlebihan dalam menjelaskan diriku kepada kalian. Aku bukan orang yang cukup ramah untuk sebagian orang, misalnya saja aku selalu mengira bahwa setiap orang hanya memperhatikanku dengan tatapan meremehkan. Percayalah. Aku sadar bahwa segala yang kumiliki bukanlah hasil dari kerja keras, aku hanya menikmati buah pekerjaan mendiang ayahku. Hal semacam ini bisa dibilang adalah anugrah sekaligus kutukan dalam waktu yang bersamaan. Tapi aku tidak peduli.

Menurut hematku, aku selalu hidup dengan bersenang selama ini. Semua bisa kulakukan setiap saat, misalnya mengundang orang untuk berpesta, nongkrong di bar atau sekedar mengajak seorang gadis untuk berkencan. Dengan cara demikian aku mendapatkan seorang teman, entahlah seolah-olah aku bisa membeli sebuah hubungan pertemananan.

Tiba-tiba saja semua itu berakhir, segala yang kumiliki hilang dalam sekejap. Seluruh yang kumiliki hilang. Perusahaan tidak berjalan lancar sehingga mengalami kebangkrutan, diperparah dengan hutangku yang semakin menumpuk di sana-sini. Aku merelakan segalanya, menjual segala asset yang kumiliki, menghancurkan apa yang dibangun mendiang ayahku. Aku adalah lelaki yang sangat memalukan. Dan sekarang hanya tinggal sebuah rumah tua tempat mendiang ayahku dilahirkan, bersama seekor shihtzu-terrier bernama Siro.

Namun semua yang terenggut itu semakin tidak berarti, tapi yang lebih menyedihkan lagi ketika semua orang didekatku juga mengilang secara perlahan. Itu sungguh menyiksaku. Batinku serupa rusa yang tercabik-cabik oleh taring harimau. Pertama-tama aku kehilangan kekasihku -ya tentu saja wanita mana yang mau dengan pria gagal sepertiku. Teman dan kerabat juga meninggalkanku itulah dimana perasaanku hancur berkeping-keping. Aku tak mengerti kesalahan apa yang telah aku lakukan. Apakah segala yang kuberi tempo hari sudah tak mereka pikirkan lagi. Bar dan tempat perjudian juga tak lagi menyambut orang sepertiku. Aku hancur kali ini. Menjadi yang paling buruk segala-galanya.

***

Aku mengonggong bergitu keras berkali-kali tetapi tuanku tetap saja tidak mau turun dari atas. Berhari-hari tuanku tidak memberiku makan ataupula sekedar mengajakku bermain di halaman. Aku sudah lapar, aku ingin pergi namun aku tak bisa meninggalkan tuanku.

Seringkali ia menepuk kepalaku ketika aku tertidur, itu menandakan bahwa hari sudah pagi dan tuan akan pergi keluar. Aku selalu menunggunya di depan pagar sampai ia pulang dan mengajakku bermain di halaman. “Siro…Siro…Siro…” ucapan ketika ia memanggilku.

Aku mengonggong lebih keras dari sebelumnya, tapi tuan tetap tidak turun dari atas. Sekali lagi aku mengonggong dan lagi dan lagi. Tuan tetap tidak turun dari atas. Orang-orang biasa memangilnya Pak Tua Hoy, tentunya aku berharap ada yang memanggilnya untukku.

Buluku yang tebal mulai rontok mungkin usiaku sudah cukup tua untuk seokor anjing. Sejak kecil aku telah dirawat oleh Pak Tua Hoy. Aku selalu senang walau tuan memang jarang sekali memandikanku. Aku tidak suka mandi. Aku lebih suka pergi ke taman bersama tuan.

Aku ingin makan. Aku ingin pergi ke taman. Aku ingin main di halaman. Aku mengonggong sekali lagi, sangat keras sekali. Tuan tetap saja tidak turun.

“Wuuuf…Wuuuuff…Wuuuuufff” Suaraku memanggil

***

Aku selalu senang berkeliling kota sehabis bekerja, sekedar untuk melihat-lihat dan mengabiskan beberapa batang rokok. Kota ini semakin muram dan dingin, keramaian hanya ada di bar dan pusat hiburan lainnya. Waktu mendekati tengah malam dan aku memutuskan untuk kembali ke rumah untuk beristirahat.

Sebuah surat kabar yang kuterima pagi ini sejenak membuatku mematung seperti pohon jati. Bibirku semakin membeku dan pucat persis seperti seorang yang sedang menghadapi kematian. Aku mengerutkan kening dan air mataku jatuh berkeping-keping tanpa kuperintah.

Aku melihat seorang yang pernah ketemui, pria tua pemabuk itu dan seekor anjing. Sebuah potret hitam putih bersanding lesu dengan kalimat yang berbunyi, “Ditemukan Seorang Lelaki Tua Tewas Gantung Diri.”

***

Sebagai seorang pria aku telah menjalankan hukuman yang begitu menyedikan, yaitu menjadi tua tanpa kasih sayang. Aku tak memiliki seorang anak, istri ataupula kerabat. Aku hanya memiliki seokor anjing yang begitu setia kepadaku. Aku tak sanggup lagi memangku seluruh beban yang dileparkan kepadaku ini segala penghinaan dan penolakan, segala kesedihan dan kesepian.

Alangkah malangnya diriku dikala muda, Ya Tuhan. Aku menjadi seorang pria angkuh yang tamak dan hanya menghabiskan hari untuk bersenang-senang. Patut dicatat bahwa sebenarnya aku tak bisa berbuat apa-apa tanpa orang lain. Aku selulu bermimpi memiliki sebuah hubungan dengan seseorang untuk terakhir kali, tapi sepertinya sudah tidak mungkin lagi. Aku pria pemabuk dan hanya tersisa rangka saat ini.

Sekali lagi tanpa penyangkalan dan penolakan, aku telah menerima segala siksaanmu, Ya Tuhan. Telah kutenggelamkan segala gairah tentang kehidupan, biarpun kasih ataupula angan-angan. Aku telah hancur bersimpuh peluh. Kali ini tanpa perlu ditunda lagi, kuberanikan aku menyerahkan diri membebaskan segala penderitaan ini.

“Biarpun tiada lagi orang yang peduli. Aku meninggalkan secarik surat ini untuk terakhir kalinya. Semoga Siro menemukan majikan yang baru.” Gumamku terakhir kali.

***

“Hidup memang benar-benar singkat untuk seorang pria tua ini. Penyesalan selalu memburu di akhir hidupku. Aku merindukan segala keindahan yang ada dalam ingatanku. Misalnya saja, ketika aku berbincang kepada seseorang dan ia mendengarkanku sebagai seorang manusia. Ataupula ketika aku tidur di padang rumput dan bermain bersama Siro. Aku telah memutuskan mengakhiri semua ini dengan berani. Siapapun rawatlah Siro, kumohon”

Share:

0 komentar:

Posting Komentar