Senin, 30 September 2019

Cold War: Cinta Bersemi Di Kecamuk Ideologi

Cold War by Pawel Pawlikowski

Barangkali cinta adalah hutang yang selalu menuntut dituntaskan hingga kapanpun dan film ini seakan menjelaskan semua itu dengan sangat baik. Secara garis besar film garapan Pawel Pawlikowski ini menceritakan kisah asmara, tragedi dan suasana perang dingin yang membayanginya selama puluhan tahun. 

Ketegangan yang terjadi saat perang dingin semakin memperkaya konflik yang dibangun dalam film ini. Romansa percintaan yang terikat dengan pilihan negara dan ideologi mendorong karekter dalam menentukan nasibnya. Film ini tidak sedikitpun memfokuskan diri pada konflik perang dingin, melainkan suasana politik yang turut menentukan nasib dan sulit untuk dipisahkan.

Berangkat dari perjalanan Irena (Agata Kulesza) dan Wiktor (Tomasz Kot) seorang pianis dan konduktor yang memandu audisi pencarian bakat di pedesaan Polandia untuk membentuk teater rakyat yang nantinya dipentaskan hingga ke panggung nasional. Pada saat bersamaan seorang penyanyi bernama Zula (Joanna Kulig) ikut dalam audisi tersebut dan Wiktor sangat tertarik akan keistimewaannya. Dan mereka jatuh cinta.

Saat teater mulai terkenal dan tampil di berbagai wilayah, sang manajer Kaczmarek (Borys Szyc) justru melakukan kesepakan untuk menyelipkan propaganda Soviet yang dipimpin Stalin ke dalam setiap pertunjukan mereka. Irena yang tidak setuju untuk menampilkan nyanyian yang memuji pemimpin Soviet terpaksa angkat kaki. Tak lama Wiktor juga membelot dan pergi menuju Prancis, sementara Zula menolak ajakan Wiktor dan tetap bertahan. Romansa mereka penuh ketidakpastian karena keadaan politik. Mereka berpisah dan menyisakan cinta yang belum tuntas.

Narasi hubungan penuh batas dan lika-liku terjadi pada tahun-tahun selanjutnya. Wiktor dan Zula belum juga menyelesaikan kisah mereka. Walaupun pergeseran waktu seakan membuat keadaan semakin rumit, jarak negara dan ideologi yang bersebrangan. Kuduanya tekesan pantang menyerah dan cinta semakin bergairah. 

Pawel Pawlikowski mengemas semua itu dengan lembut dan sangat menyentuh. Balutan tone monochrome dalam ration 4:3 semakin membuat sketsa hubungan cinta antara karakter  terlihat  lembut dan intens. Kiat serupa juga digunakan Pawel Pawlikowski saat menyutradarai film Ida (2013) yang menyabet penghargaan Film Bahasa Asing Terbaik dalam Academy Awards. Harus diperhatikan juga bagaimana cerdasnya seorang Pawel Pawlikowski memposisikan perang dingin dalam sinema yang dibuatnya, sebuah ideologis yang benar-benar menentukan nasib seseorang.

Istilah “Perang Dingin” diciptakan oleh George Orwell seorang satrawan Inggris yang menulis 1984 dan Animal Farm. Ia menerangkan bahwa pada masa ini kedua kubu totalitarianisme (AS dan Uni Soviet) saling melakukan propaganda atau ia menyebutnya sebagai agresi tidak bermusuhan. Pada periode tersebut kedua kubu saling melakukan propaganda melalui radio, buku, surat kabar, lagu dan salah satunya adalah teater rakyat tempat Wiktor dan Zula bertemu dalam film ini.

Sebagai penonton juga secara langsung diajak menguras perasaan dengan penuh perenungan. Walaupun dalam beberapa bagian ritme film ini terkesan begitu lamban dan beberapa kesenjangan yang harus kita terjemahakan sendiri. Tetapi semua itu seakan tidak berarti akibat visual dan alur cerita yang sangat baik sehingga membuat film ini sangat elegan. Alhasil secara keseluruhan berhasil membuat film sekelas La La Land terhilat culun menurut saya pribadi. Film yang sangat menyedihkan, tetapi kamu akan menyukainya.

Cold War bukan sebatas perang idologis antar negara saja melainkan lebih dari itu. Ini adalah perang antara kedua hati manusia, kekecewaan, kerapuhan hati, serta bagaimana ideologi memisahkan manusia dan bermuara pada pencarian arti cinta dan kerinduan.                                           

 
Share:

0 komentar:

Posting Komentar