Senin, 15 Mei 2017

Tiada Demokrasi di Kampus Kami


Terlepas dari berbagai macam alasan apapun itu baik setuju atau tidak setuju, suka atau tidak suka, serta macam jenis argumen pembenaran lainya kita harus mengamini secara bersamaan bahwa kita memang sedang menghadapi krisis Idealisme sebagai mahasiswa. Benar ungkapan Tan Malaka “Idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki para pemuda.” 

Kita terlahir bukan untuk mengakhiri kecamuk perang Asia Pasifik ataupun mengangkat senjata untuk mengusir Kolonial Hindia Belanda ataupula untuk menghancurkan tirani Orde Baru melainkan kita lahir untuk mengancurkan ide-ide primitif dan kesewenang-wenangan kaum terpelajar yang takabur terhadap kekuasaanya. Menarik menilik pandangan Soe Hok Gie dimana kaum intelektual (Mahasiswa) sedang terjerat dalam bentuk bentuk penindasan baru yang halus. Konkritnya secara tidak sadar kebebasan bersuara kita telah direnggut oleh sebagian kelompok Mahasiswa berkepentingan dan kita hanya mengangguk “yes man” tanpa berani menyampaikan argument pribadi sedikitpun.

Kelompok-kelompok semacam bergerak bebas di dalam lembaga sekaliber BEM di kampus-kampus dan gemar sembunyi dalam ketiak demokrasi. Kelompok semacam ini hanya sekedar mengakomodir kepentingan saja yang tak jauh beda dengan ormas yang muncul untuk mencapai kepentingan tertentu. Hingga pada akhirnya mereka menjelma semacam raja-raja kecil dengan kekuasaan absolut dan prilaku yang lebih buruk dari binatang. Mereka menghamba pada kekuasaan semata. Lalu apa kita hanya diam saja ketika melihat calon-calon pemimpin yang immoral.

Kegundahan yang saya alami ini semoga juga diamini kawan-kawan dan kerabat mahasiswa yang lain juga. Sehingga kegundahan ini menjadi kegundahan bersama dan layak untuk diperjuangkan bersama-sama. Segala macam elemen kampus baik mahasiswa maupun organisasi-organisasi mahasiswa harus berani mengkritik prilakunya sendiri dan tidak bertidak seperti sapi atau kerbau, menyetujui dan mengiyakan segala perintah dari senior ataupun pucuk-pucuk pimpinan organisasi, menimbang baik buruknya segala tindakan dan prilaku serta sadar diri bahwa sejatinya politik adalah sebuah kolam wisata berisi lumpur yang begitu kotor serta tak ikut bertindak seperti bandit-bandit yang merampas hak-hak orang lain. Terlebih lagi sampai-sampai melalukan perbuatan setan mengatasnamakan Agama dan Tuhan.

Kita harus mulai menggugah kesadaran dan menjaga alam kewarasan dalam berpikir dalam diri kita sendiri. Sejatinya adu panco politik walupun sekaliber lingkup Universitas bahkan Fakultas sendiri tentu harus dilakukan secara Gentlement. Tentunya masing - masing kelompok harus berhak mencalonkan diri dan menjabarkan gagasan-gagasannya tanpa dihalangi dan dipersulit tentunya dengan mengedepankan asas demokrasi. Akan begitu menggelitik dan menjadi guyonan segar apabila sebuah kelompok dekaden tetap angkuh mempertahankan dinasti kekuasannya dengan merenggut serta mengorbankan hak–hak politik seseorang ataupun kelompok yang lain demi keabsolutan kursi jabatan. Selain itu kita juga harus memandang secara Humanis dan menghargai segala macam pandangan serta hal-hal yang memang telah melekat sejak lahir (Agama,Etnis,Ras,dll).

Yang lebih buruk lagi ada pihak yang menggunakan isu-isu yang bisa dibilang tak terpelajar untuk melancarkan nafsu birahi politiknya. Membandingkan dan membentuk sebuah prasangka dimana ideologi A lebih baik dari Ideologi B, Agama ini lebih baik dari Agama itu, Kelompokku lebih baik dari Kelompokmu dan berbagai macam tetek bengek lainnya yang jelas-jelas tidak mencerminkan sikap seorang terpelajar. “Seorang terpelajar harus berprilaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” begitulah kiranya pesan yang disampaikan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Bumi Manusia.

Kondisi semacam ini memang sangat menjengahkan dan meggangu pikiran bagi setiap orang yang mengklaim dirinya terpelajar dan waras dalam berpikir. Dimana kita sedang berada dalam sebuah ekosistem yang tidak berkembang dan hanya nyaman di zona keniscayaan, dimana lembaga sekaliber BEM di fakultas ini hanya berisikan oligarki kebathilan yang nyatanya memang benar-benar sudah tidak bisa diharapkan sedikitpun.

Semester demi semester telah saya lewati dan juga pergantian mediokrasi politik kampus telah saya lewati berkali-kali di Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Lampung. Pemimpin dihadirkan begitu saja bak cerita Nabi-Nabi tanpa adanya semacam proses pemilihan sedikitpun. Sudah waktunya mengakhiri rezim kolot mahasiswa dengan demokrasi super impoten ini. Menegakkan kebenaran dan kejujuran serta meletakkan sebuah batu tapal revolusi birokrasi yang menuju arah kebaikan.

Apakah kita hanya akan menunggu sebuah perubahan yang belum tentu kapan datangnya. Lebih baik kita mulai untuk memperjuangkan sebuah sistem yang lebih Humanis, dimana politik yang baik akan menciptkan kehidupan yang lebih manusia.

Semoga tulisanku yang sederhana ini dapat membuka sebuah keran-keran berpikir dan memunculkan sebuah perdebatan bagi kalian yang membaca. Terlepas bagaimana kalian menerjemahkan, semoga ini menjadi bahan kritik dan berintrospeksi termasuk kepada diri saya sendiri.
Share:

0 komentar:

Posting Komentar