Jumat, 29 September 2017

, ,

Aku Ingin Jadi Pencuri Buku




Di pojok ruang perpustakaan, pada tumpukan rak paling bawah dalam kategori buku dengan aroma kertas yang juah dari kata sedap –aku menemukan sebuah buku yang ditulis salah seorang pesohor sastra Amerika Latin, Gabriel Garcia Marquez berjudul Seratus Tahun Kesunyian, edisi terjemahan Bahasa Indonesia One Hundred Years of Solitude.
Dan dalam sekejap kata-kata ini hadir menyelimuti relung pikiranku.

“Aku ingin mencuri buku ini!”

Sudah berkali-kali, aku berhasrat untuk memiliki buku ini. Buku yang sudah tak lagi beredar di pasaran ini sangat sulit ditemukan, kalaupun ada tentunya sang penjual akan mematok harga setinggi langit. Dapat ditebak,  mahasiswa sepertiku ini pasti enggan untuk membelinya karena terbatasnya uang dalam kantung calana usangku.

Namun, secara kebetulan tanpa ada rencana sedikitpun aku mengunjungi sebuah Perpustakaan hari itu, hingga akhirnya  menemukannya terselip diantara buku-buku usang lain dan aku rasa semua pengunjung enggan untuk menyentuh ataujuga membacanya (ini bisa dilihat dari kondisi buku yang mulus tanpa terlipat dan dibagian kolom nama peminjam masih kosong tak terisi)

“Aku ingin mencuri buku ini!”

Begitulah, mungkin obsesiku timbul akibat aku pernah membaca sebuah biografi mengenai Chairil Anwar, dalam satu bab khusus diceritakan bahwa ia begitu handal mendapatkan buku tanpa melawati meja kasir. Barangkali sajak-sajak Chairil Anwar membuatku tersobsesi akan hal lain yang melekat dengannya, salah satunya mencuri buku. Tidak hanya Chairil, di Mexico, dalam usia enam belas Roberto Bolano sudah mahir mengutil karya Pierre Louys, Maxbeerhom, Rulfo, Arreola, Poe hingga Albert Camus dari rak toko buku, cerita ini juga kerap kali memotivasiku.

Namun pecundang sepertiku bisa dibilang terlalu pengecut (bahkan terlampau jauh untuk dikatakan sebagai pengecut) untuk melakukan pekerjaan berani dan beresiko semacam itu. Sehingga obsesi naif menjadi pencuri buku mahir serupa Chairil dan Bolano perlahan terkubur dalam kehampaan pikiran.

Kebiasaan mencuri masih begitu melekat denganku. Dimana secara pasti aku lebih banyak menonton film dengan mengunduh secara ilegal dibanding menikmatinya dalam kegelapan ruang teater. Laman torrent, ganool, katmovieHD dan tak lupa peinakatsuki dan lebahganteng yang membantuku dalam urusan ini. Kerapkali aku mendapatkan beberapa ebook secara illegal sehingga aku bisa menghabiskan waktu bersama puisi-puisi Sylvia Plath di samping oven, mengartikan larik-larik Walt Whitman saat menunggu dosen, bahkan aku bisa membaca T.S. Eliot sambil ngopi di kantin kampus. Hmmm… apakah kegiatan membajak ini sama kejinya dengan mencuri.

Secara pasti para Malaikat utusan Tuhan tidak pernah luput untuk mencatat perbuatan itu kedalam jurnal perbuatan jahatku. Bisakah mereka mentolelir rencana jahat ini?

Aku rasa tidak!

Sebab manusia terlampau sering mencampuri masalah privasi dalam pikiran, terlebih lagi para Malaikat itu yang begitu setia terhadap Tuhan-Nya.

Barangkali perbuatan berpikir ataupula rencana jahat semacam ini tetap kau anggap keji, aku meminta jangan mengeksekusiku dengan pisau Guillotine seperti yang dilakuakan orang Prancis ataupula Ling Chi di Cina. Aku mohon kalian pertimbangkan perkataan Hatta, penjarakan saja aku di dalam bangsal penjara penuh buku-buku seumur hidup, dimana aku bisa merenggut seluruh waktu dengan membaca, membaca, dan membaca ataupula berpikir, merenung, menulis hingga memanjatkan doa terakhir di ruang sempit beraroma kertas yang menguning.

Menarik sepertinya, menjadi tua seperti Brooks Hatlen tokoh fiktif dalam film The Shawshank Redemption yang diadaptasi dari novella Stephen King. Brooks tua ialah pustakawan penjara yang telah menghabiskan 50 tahun hidupnya dalam tahanan dan ketika bebas ia tak sanggup lagi beradaptasi dengan dunia luar yang berevolusi begitu cepat, hingga ia frustasi dan gantung diri. Ia menyisakan sebait pesan yang begitu pedih “Brooks Was Here.”

Nilai dan moralitas bisa sangat tidak berarti untuk berbagai kasus-kasus tertentu. Misalnya, dalam legenda urban masyarakat Inggris, tentu kita tak asing dengan kisah heroik seorang penjarah bernama Robin Hood ( di Indonesia kita mengenal tokoh Si Pitung) . Dalam kisah tersebut diceritakan bahwa Robin Hood bersama kelompoknya sering melakukan perampokan terhadap orang kaya dan bangsawan Nottingham dan kemudian membagikan hasilnya ke rakyat miskin. Kasus tersebut tentunya mengindikasikan bahwa seorang pencuri menjadi pahlawan bagi banyak orang, sehingga definisi ataupun nilai moralitas suatu perbuatan jahat “Perampokan/Mencuri” hanyalah sebuah konotasi dan pemaknaan yang relatif.

Kita tentunya sering berkata bahwa hukum harus ditegakkan seadil-adilnya. Pada nyatanya berbagai melodrama semacam kisah para pelaku pencuri piring, bambu, sandal dan lain sebagainya diproses hingga ke penjara. Hal itu teramat kontras dari berbagai pelaku korupsi bebas dari sidang.  Ada benarnya klaim Mochtar Lubis kita hidup dalam birokrasi patrimonial warisan feodalisme kerajaan lampau, dimana sistem tersebut membantu maraknya korupsi pada zaman sesudahnya.

Menang, sejatinya kita adalah manusia-manusia yang bersikap hipokrit.

Aku telah lama terbelenggu dalam dilema nilai ataupun moralitas kebajikan, nilai yang sedari dulu telah ditanamkan secara paksa ke dalam benak setiap anak-anak lugu yang mengenakan seragam sekolah. Perspektif nilai kebaikan dan kebenaran sangatlah kontras dan terlihat begitu tebal dimana –yang salah selamanya akan salah dan yang benar selamanya akan benar. Dan manusia angkuh semcam kita terlampau ritmik hingga melupakan hal hal yang seharusnya kita pertanyakan.

Apabila sejarah bisa ditulis oleh orang-orang yang salah tentunya nilai kebenaran bisa saja diragukan akan kebenarannya sendiri.

Menurut anggapanku seharusnya kebenaran berada pada titik nol, warna yang abu-abu dan  hadir dalam poros yang tak memihak serta kasap mata. Kita tak perlu menuntut agar sebuah nilai moralitas kebaikan ataupun kebenaran berpihak kepada kita. Apakah kita sudah bisa mengartikan moraitas nilai nilai kebaikan dan kebenaran?

Entahlah, bagaimana seharusnya aku harus bersikap dalam sebuah rencana mencuri buku Gabriel Garcia Marquez di sebuah perpustakaan  serta pembajakan terhadap beberapa buku dan film. Aku pikir kalian lebih baik dalam kegiatan menilai seseorang, apakah aku seorang yang baik? Atau keji?. Tidak ada waktu sepertinya untuk memperdebatkan persepektif nilai yang kalian berikan, lebih baik aku membaca, membaca, dan membaca ataupula membajak lebih banyak buku lagi.




Share:

0 komentar:

Posting Komentar