Sabtu, 02 September 2017

,

Bagaimana Medioker Sepertiku Mengartikan Sebuah Puisi?


Sebelumnya saya sempat bertanya tanya kepada diri tentang bagaimana sejatinya saya menikmati sebuah puisi yang seringkali membuat saya tersesat dalam sebuah metafora yang begitu indah apakah arti sebuah puisi hanya sebatas itu?

Disini saya akan menjelaskan sebagai seorang medioker yang sedikit membaca buku dan tidak pernah mendapatkan pendidikan sastra secara formal.

Menurut Nirwan Dewanto dalam sebuah wawancara yang saya tonton di jejaring youtube bahwa menurut beliau Kegiatan berpuisi adalah kegiatan adiluhung yang terjadi pada masa kerajaan lama dimana penyair disebut kawi, penyair diposisikan sebagai seorang luhur yang diaggap menentukan sebuah nilai-nilai keindahan dan menyatakan kebenaran yang tidak dikatakan oleh bidang lain.”
Tentunya pada masa itu puisi dan penyair mendapatkan sebuah posisi tersendiri di tatanan masyarakat pada masa lampau yang bisa dibilang tugasnya ialah menerjemahkan sebuah makna-makna yang belum ada ataupula belum juga tercakup dalam sebuah kepercayaan.

Namun seiring berputarnya waktu puisi dan penyair juga mengalami pergeseran arti dimana penyair bukan lagi seorang yang dikatakan luhur, semua orang bisa melakukan kegiatan berpuisi dan puisi-puisi juga tidak hanya sebagai sebuah nilai keindahan melainkan lebih dari itu. Puisi bisa dijadiakan sebuah orasi perlawanan, sebuah medium kritik, ataupula sekedar ungkapan kesedihan seorang akibat putus cinta dan masih banyak yang lain.

Terkadang pula puisi juga hidup abadi dalam sebuah tragedi hidup manusia. Pada tahun 1963, Sylvia Plath seorang penyair Amerika ditemukan tewas dengan kepala yang berada di dalam oven dan gas yang dihidupkan, kematian ini membuat seisi dunia tergoda menyusuri puisi-puisinya. Sebelas tahun kemudian Anne Sexton yang pernah menulis “kematian itu milikku” saat Sylvia Plath meninggal , dengan metode yang hampir serupa ia mengakhiri hidupnya di sebuah kursi mobil dengan mesin yang menyala sehingga asap memenuhi garasi dan maut menjemputnya.

Kemudian pada sebuah adegan pembuka dalam buku Rumah Kertas karya Carloz Maria Dominguez “…Bluma Lennon membeli satu eksemplar buku lawas poems karya Emily Dickinson, dan saat menyusuri puisi kedua di tikungan jalan pertama, ia ditabrak mobil dan meninggal” dan menurut penalaranku yang medioker ini dalam buku tersebut puisi berperan penting dalam tragedi tersebut, walaupun ini hanyalah karangan penulis semata.

Hal-hal semacam ini menegaskan bahwa puisi juga dapat melahirkan sebuah tragedi yang tragis dalam kehidupan yang dialami seorangan manusisa. Jujur bulukuduk merinding menulis ini, sial.

Mari lupakan hal mengerikan itu.

Tentu kalian sering mendengar atau membaca sebuah kalimat “Hanya ada satu kata…LAWAN” sebuah jargon abadi pemecut semangat mahasiswa seperti aku ini ketika melakukan demonstrasi, sebuah kata yang berasal dari puisi Wiji Thukul bejudul Peringatan. Wiji Thukul memang terkenal sebagai penyair demonstran dimana puisi yang ia tulis tidak lepas dari menyuarakan penderitaan rakyat. Puisi-puisinya memang tidak terlalu penuh metafora yang indah melainkan kata kata yang dituliskan ialah sebuah suara kejujuran sehingga puisinya dapat mewakili perasaan orang banyak. Sehingga tak salah apabila puisi juga digunakan sebagai media untuk memperjuangkan hak-hak mereka sebagai orang yang tertidas, Wiji Thukul contoh konkritnya.

Membicarakan puisi tentu tidak etis apabila tidak menyebutkan seorang Chairil Anwar. Puisi “Aku” ataupula “Kerawang Bekasi” karya Charil Anwar tentu begitu akrab ditelinga orang Indonesia disamping sebuah pose ketika ia merokok dengan angkuh dengan kutipan “Aku Ini Binatang Jalang” nanfenomenal itu, semua itu membuat Chairil benar akan hidup seribu tahun lamanya. Chairil tidak sekedar penyair yang biasa-biasa saja melainkan seorang yang tak bisa kita sanggah kehebatannya dalam mengeksplorasi kata dan membuat kiasan-kiasan baru dalam perjalanan bahasa kita ini. Seorang yang dalam hidupnya memperjuangkan puisinya melebihi harga diri. Merekam perjuangan dan berjuang demi kemerdekaan Indonesia dengan cara yang ia yakini. Ah aku begitu mengidolakan bohemian tulen yang satu ini, begitu banyak hal hal yang kita bisa pelajari dari seorang pembaca buku kelas berat ini. Selain kumpulan puisinya mungkin apabila berkenan aku sarankan kalian juga membaca biografi Chairil yang ditulis Bung Hasan Aspahani.

Puisi tentunya tidak pernah lepas dari urusan cinta, yah cinta memang merepotkan begitulah sekiranya. Mungkin semua penyair dapat dipastikan mengabadikan cinta dalam beberapa puisi yang ditulisnya. Mungkin nama Sapardi Djoko Damono menurut pandangan peribadiku ialah yang paling depan dalam menuliskan tema tema cinta dalam puisinya, puisinya begitu indah dan romantis, aku curiga Pak Sapardi ini sepertinya tidak pernah marah dalam seumur hidupnya hmmm… ini sedar anggapanku saja sekali lagi. Membaca puisi Sapardi menurutku pribadi sama dengan menikmati puisi-puisi yang ditulis Pablo Neruda.

Tentunya mengartikan puisi tidak ada bedanya dengan sebuah sepak bola yang sederhana namun penuh dengan ribuah tafsir di dalamnya. Diatas kita aku hanya bisa membahas beberapa penyair yang aku kagumi, masih banyak lagi yang aku belum ketahui, aku masih butuh banyak belajar. Puisi memang berisi begitu banyak hal yang bisa kita dapatkan di dalamnya dimulai dari ketangkasan bahasa yang sering kita jumpai di puisi karya Joko Pinurbo misalnya, ataupula WS Rendra yang erat menyuarakan kritik dan kebebasan di dalamnya, kita juga bisa mengambil pesan kebijaksanaan dari para penyair seperti T.S Eliot, Walt Whitman, Nizar Qabbani ataupula Jalaludin Rumi, puisi juga tak lepas dari pesan pesan agama seperti yang dituliskan K.H Mustofa Bisri serta masing banyak lagi pesan tersembunyi yang bisa kita peroleh dari puisi yang ditulis para penyair lain didalamnya., Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna

Puisi tak hanya sesederhana definisi dari gubahan bahasa yang indah, namun lebih dari itu menurut anggapan seorang medioker ini. Puisi bisa menjadi sebuah arsip sebuah peradaban ataupula rekaman sejarah yang terjadi pada masanya. Puisi bisa dinikmati dan diartikan dengan cara yang beragam.

Namun aku sangat sedih pada masa ini, ketika puisi hanya sebatas kutipan pelengkap postingan foto di akun akun media sosial. Yang aku takutkan mereka tidak pernah membaca dengan tuntas, sehingga menimbulkan salah penafsiran.

Aku juga tidak begitu suka ketika seorang penyair yang menulis puisi tanpa sebuah arti sedikitpun, mereka hanya terpaku dalam metafora kata yang membuat pembaca tersesat dalam labirin buatannya tanpa mendapat suatu apapun. Walaupun dalam perspektif lain juga dituntut untuk memberikan sebuah nilai estitika di dalamnya mulai dari bentuk, penyusunan kata, pemberian tanda dan lain sebagainya sehingga makna tak teralalu penting dalam puisi semacam ini. Terlebih  Lisensia Puitika menekankan kebebasan seorang penyair untuk mengobrak-abrik kata secara leksikal ataupun gramatikal dan pembaca pula bebas mengartikannya. Namun, untuk aku yang medioker ini aku lebih suka puisi tanpa metafora yang terlalu berlebihan dan ditulis tegas untuk menyampaikan sesuatu yang bisa semua orang terima

Semacam Puisi karang Remy Syalado ini contohnya

Pesan Ibu Kepada Putranya

Jangan
Bilang
Kontol.
Share:

3 komentar:

  1. Sampai sekarang belum ngerti cara ngerti puisi. Tapi saya suka puisi-puisi Sylvia, Ginsberg sama Bukowski, sering dapet "getaran"-nya. Soalnya ada rekaman deklamasi di Youtube, yg langsung dibacain mereka. Untuk penyair Indonesia belum ada, dan saya pun ga banyak baca puisi juga sih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah sama bang saya juga masih baru baca baca puisi sekitar 2 tahun ini jadi masih banyak hal yg belum ngerti. Referensi penyair luar juga terbatas karena bahasa inggris saya begitu buruk hehe

      Hapus
    2. Wah sama bang saya juga masih baru baca baca puisi sekitar 2 tahun ini jadi masih banyak hal yg belum ngerti. Referensi penyair luar juga terbatas karena bahasa inggris saya begitu buruk hehe

      Hapus