Sabtu, 30 September 2017

,

Mixtape 30 September : Prahara Kudeta, Opera dan Lahirnya Ibunda




Terkadang narasi yang terjadi pada tiap-tiap bulan September begitu menarik untuk dipelajari  dari mulai PKI, Soeharto, Lubang Buaya, Kudeta hingga Genosida. Narasi tersebut tentunya telah mengakar di ingatan kita dan ketika September datang mengunjungi tanpa sadar kita akan senang membicarakan ihwal tersebut.  Menurut anggapanku yang medioker ini, perihal tersebut sejatinya memang layak diperbincangkan, diteliti dan ditelaah lebih dalam lagi sehingga kita menghasilkan sebuah literatur peradaban yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, sehingga pewarisan kebencian terhadap kelompok tertentu dapat dihentikan.

Kisah-kisah September yang penuh dengan dendam dan kebencian telah menjadi narasi utama dalam setiap percakapan yang dilakukan di layar kaca, warung jamu, kantin kampus bahkan di jaringan keintiman Grup WA Keluarga. Hmm.... sangat menggerahkan, terlebih lagi percakapan tersebut seringkali tidak objektif dan hanya menghasilkan sebuah perdebatan penuh emosi belaka. Yang lebih memilukan ialah banyak dari teman, kerabat bahkan keluarga kita sekalipun seringkali berargumen melebihi ahli dalam sekejap berbekal sepenggal berita tanpa pernah mengujinya.

Misalnya dalam jejaring Grup WA Keluarga, aku menerima sebuah pesan siaran yang berisikan untuk merapas ataupun menghancurkan buku Das Kapitalis karya Karl Marx karena buku tersebut mengajarkan paham kapitalisme. Hmm….mbok yooo… ndak abis pikir.

Memang untuk mencari narasi alternatif kita sering kali terjebak dalam sebuah paradox berpikir untuk melupakan lalu “Yang lalu biarlah berlalu” bisa dibilang menjadi kalimat yang selalu aku benci keberadaannya. Dapat diasumsikan untuk memutar mixtape ataupula narisi yang berkaitan dengan tanggal 30 september memang sangatlah sulit menandingi narasi diatas, bahkan larik-larik lagu Akad lantunan Payung Teduh ataupula skandal kasus mega korupsi e-KTP, tetap tak bisa berbuat apapun.

Semalam aku mencoba melakukan semacam riset kecil-kecilan untuk mencari fakta sejarah apa saja yang terjadi pada tanggal 30 September. Dan hasilnya sungguh tidak menyengkan dimana ketika mengetik kata kunci “30 September” yang saya temukan dari halaman 1 sampai 10 hanyalah berbaga artikel seputar “Misteri G30S, PKI, Soeharto, kudeta dan lain sebagainya.” Dan dapat disimpulkan memang tidak ada peristiwa penting yang terjadi di Indonesia pada tanggal ini.
Namun, yang lebih menggembirakan pada 810 tahun silam tepat hari ini di Balkh (Afganistan) lahir seorang penyair Sufi terkenal, Maulana Jalaluddin Rumi. Lewat jalan puisi Rumi menyampaikan bahwa pemahaman atas dunia hanya bisa didapat lewat cinta.

“Christian, Jew, Muslim, shaman, Zoroastrian, stone, ground, mountain, river, each has a secret way of being with the mystery, unique and not to be judged” - Jalaluddin Rumi

itulah salah satu larik Jalaluddin Rumi yang aku suka.

Kemudian pada tanggal 30 september 1791, Opera Mozart bertajuk The Magic Flute (Die Zauberflote), pertama kali dipertunjukkan di Teater auf der Weiden, Wina. Sedangkan di Prancis masih pada tahun yang sama Majelis Nasional Prancis dibubarkan, kaum moderat percaya Revolusi Prancis telah berakhir dengan penerimaan Louis XVI terhadap konstitusi 1791. Setelah itu sejarah tak lagi mencacat peristiwa lain yang dapat aku temukan.

Waluapun sejarah tak pernah mencatat dengan resmi, hari ini ialah hari kelahiran ibuku. Tri Harini begitulah nama gadis ibuku, dua kosa kata yang teramat padat dan singkat. Barangkali ketika ibu lahir, ia hanya bisa membuat kakek dan neneku menangis haru dan hanya mampu menghadiahkan nama itu ini diantara ribuan kata penuh makna di dunia. Sampai saat ini aku hanya sebatas mengartikan namanya sebagai putri ketiga kakekku, sesederhana itu tanpa pernah aku mencari tahu.

Tiga Puluh September 1968 ialah hari dimana ibu lahir, tepat mencapai 49 tahun usiamu saat ini. Barangkali aku memang tak pernah suka perayaan hari kelahiran sebab aku akan semakin dekat untuk menghitung kepergian. Bahasa ibu ialah bahasaku untuk tumbuh dewasa, tanpa ibu aku bukanalah apa-apa sepertinya. Aku harap ibu selalu bahagia.


Tubuh Ibu
Barangkali kau ialah nyanyian
rintih embun yang menciptakan lirih.
Tempat kami untuk melukai
dan mengucak seisi dunia.
Tubuh membawa kami seperti pengunsi.
Di pundak, di tangan kaki –kau emban kami.
Waktu seringkali buat kami mengeluh
Menciptakan amarah bahkan tangisan lelah
Ia seringkali membawa kami kedalam relung jiwa
menciptakan tiada, menjadi dewasa.
Ibu tak lagi muda, aku lihat kerut di ujung wajahnya
Barangkali usia memang membuat kita serba mererka.
Apakah ibu selalu bahagia? 



Share:

0 komentar:

Posting Komentar