Kamis, 21 Februari 2019

, ,

Lebih Dekat Dengan Sinema Jepang


Hara-Kiri by Mayasi Kobayashi
Melewati malam dengan mengurangi porsi tidur -sebagai seo­­rang penganggur, aku menyibukan diri dengan menikmati bermacam ­film di belahan dunia. Diawali sebuah pertemuan tak sengaja dengan sosial media bernama Letterboxd dan akhirnya menemukan banyak rekomendasi film apik di dalamnya. Judul-judul asing seperti Apocalypse Now garapan Francis Ford Capolla, Chungking Express-nya Wong Kar-Wai, Stalker-nya Andrei Tarkovsky, hingga jatuh cinta pada film-film samurai Akira Kurosawa. 

Kecintaan pada karya Akira Kurosawa membawaku berkenalan lebih lanjut dengan film Jepang. Jujur aku lebih akrab dengan film Korea ketimbang film dari Negeri Sakura. Hal tersebut tentunya tidak sejalan dengan aktifitas membaca manga juga menonton anime saban minggu, diriku menggemari Dragon Ball dan One Piece yang sangat kronis. Dragon Ball memiliki kesan tersendiri bagiku. Tepatnya sajian seminggu sekali yang selalu aku tunggu setelah menghabiskan berhari-hari di sekolah. Akan mengecewakan apabila melewatkan hari minggu tanpa menonton Dragon Ball, aku sangat benci ketika berpergian di hari minggu.

Sebagian perhatian terhadap film Jepang tertuju pada film garapan studio Ghibli, sesosok monster Godzilla dan film baku hantam remaja sekolah garapan Takashi Miike berjudul Crows Zero. Film perkelahian brutal yang aku saksikan beramai-ramai dari sebuah dvd bajakan, tak ayal film ini menjadi bahan obrolan teman sekolah ketika muncul sekuelnya. Dan itulah rekaman ingatan aku punya ketika membicarakan film jepang.

Untuk menebus kealpaanku perihal sinema Jepang, tentunya aku harus menelusuri jalan samurai lewat karya-karya klasiknya. Mulai dari Seven Samurai, Ran, Yojimbo, Kagemusha hingga cerita adaptasi novel Akutagawa berjudul Rashomon aku saksikan hingga tuntas. Dalam filmnya Korosawa dengan jelas menceritakan prinsip seorang samurai dengan sangat kompleks, yang dipenuhi emosi, politik, kesetiaan hingga drama pengkhianatan. Lebih dalam lagi, aku menonton film Harakiri-nya Masaki Kobayashi, untuk melengkapi bagian bushido sinema negeri sakura.

Tak puas hanya berkenalan dengan Kurosawa dan Kobayashi, aku mencoba mencari film-film lain. Dalam perjalanan aku menemui Yasujio Ozu dalam sebuah refleksi moral yang cukup dalam Tokyo Story. Ozu sangat terkenal di Jepang, bahkan lebih dihormati ketimbang Kurosawa. Kemudian aku memilih mampir melihat sajian kuliner empat musim dalam drama dua babak Little Forest karya Junichi Mori. Dan akhirnya saya menemukan keindahan dalam drama keluarga yang disajikan Hikorazu Kore-eda.

Kore-eda smenggunakan formula kehidupan keluarga dalam setiap filmnya. Narasi kesengsaraan dan kesedihan dibalut dengan imajinasi kasih sayang yang menjadikannya begitu manis. Kengerian empat anak terlantar termanifestasi dalam Nobody Knows. Ada lagi Still Walking yang meratapi begitu pedihnya kehilangan seorang anaknya. Like Father, Like Son sebagai drama anak tertukar yang pilu. Dan tentu Shoplifters yang membuatmu merasa gagal mengartikan makna sebuah ikatan keluarga, sangat menyentuh dan digadang-gadang bisa meraih Oscar tahun ini. Kore-eda akan terus konsisten menghadirkan drama yang menyakitkan, mengeksplotasi kekosongan dalam sebuah keluarga.
 
Jepang dengan apik menggambarkan kebudaayaannya dalam sebuah film, Kurosawa dan Kobayashi menemaniku menyusun puing-puing tragedi sejarah para samurai Jepang. Ozu dan Kore-eda memberkatiku dengan nilai sebuah keluarga dan keseharian manusia Jepang. Godzilla adalah bahasa perlawan atas dominasi budaya barat, juga serial Anime yang membawa representasi kultur modern Jepang hari ini.

Aku belum puas menikmati suka cita menonton film Jepang. Akan banyak lagi keindahan dan kisah yang tak terduga di tahun-tahun mendatang. Walau tak pernah tuntas dan butuh perjalanan panjang untuk menyaksikan lebih banyak lagi film Jepang. Artinya, saat ini aku hanya bisa melihat sebagian kecilnya saja. Dan aku menikmatinya seperti melahap tofu yang disajikan Ozu.


Share:

0 komentar:

Posting Komentar